Minggu, 08 Juli 2018

TEORI PSIKOLOGI ERIK ERIIKSON


RESUME TEORI POST-FREUDIAN
ERIK ERIKSON
A.    BIOGRAFI
Erik H Erikson lahir di Frankurt, Jerman pada tanggal 15 juni 1902. Sangat sedikit yang bisa mengentahui perihal asal usulnya. Ayahnya berkebangsaan Denmark yang tidak diketahui namanya dan tidak mengakui Erikson sebagai anaknya sewaktu masih dalam kandungan dan langsung meninggalkan ibunya. Ibunya bernama Karla Abrahamsen yang berkebangsaan Yahudi. Saat Erikson berusia tiga tahun ibunya menikah lagi dengan seorang dokter bernama Theodore Homburger, kemudian mereka pindah ke daerah Karlsruhe di Jerman Selatan.
Sebelum melihat lebih jauh mengenai teori dari Erik Erikson, maka kita tidak bisa melewati sketsa biografi Erik Erikson yang juga berperan/mendukung terbentuknya teori psikoanalisis. Pencarian identitas tampaknya merupakan fokus perhatian terbesar Erikson dalam kehidupan dan teorinya.
Pertama kalinya Erikson belajar sebagai “child analyst” melalui sebuah tawaran/ajakan dari Anna Freud (putri dari Sigmund Freud) di Vienna Psycholoanalytic Institute tahun 1927-1933. Bisa dikatakan Erikson menjadi seorang psikoanalisis karena Anna Freud. Kemudian pada tanggal 1 April 1930 Erikson menikah dengan Joan Serson, seorang sosiologi Amerika yang sedang melakukan penelitian di Eropa. Pada tahun 1933 Erikson pindah ke Denmark dan di sana ia mendirikan pusat pelatihan psikoanalisa (psychoanalytic training center). Pada tahun1939 Erikson pindah ke Amerika Serikat dan menjadi warga Negara tersebut, selain itu secara resmi pun dia telah mengganti namanya menjadi Erik Erikson.
Erikson menguraikan manusia dari sudut perkembangannya sejak dari masa 0 tahun hingga usia lanjut. Erikson beraliran psikoanalisa dan pengembang teori Freud. Kelebihan yang dapat kita temukan dari Erikson adalah bahwa ia mengurai seluruh siklus hidup manusia, tidak seperti Freud yang hanya sampai pada masa remaja. Termasuk disini adalah bahwa Erikson memasukkan faktor-faktor sosial yang mempengaruhi perkembangan tahapan manusia, tidak hanya sekedar faktor libidinal sexual.
B.     PRINSIP-PRINSIP TEORI
Pusat dari teori Erikson ialah ke-universal-an seluruh tahapan perkembangan manusia. Proses yang terjadi dalam setiap tahap yang telah disusun sangat berpengaruh terhadap “Epigenetic Principle” yang sudah dewasa/matang. Dengan kata lain, Erikson mengemukakan persepsinya pada saat itu bahwa pertumbuhan berjalan berdasarkan prinsip epigenetic. Di mana Erikson dalam teorinya mengatakan melalui sebuah rangkaian kata yaitu:
1.        Pada dasarnya setiap perkembangan dalam kepribadian manusia mengalami keserasian dari tahap-tahap yang telah ditetapkan sehingga pertumbuhan pada tiap individu dapat dilihat/dibaca untuk mendorong, mengetahui, dan untuk saling mempengaruhi, dalam radius soial yang lebih luas.
2.        Masyarakat, pada prinsipnya, juga merupakan salah satu unsur untuk memelihara saat setiap individu yang baru memasuki lingkungan tersebut guna berinteraksi dan berusaha menjaga serta untuk mendorong secara tepat berdasarkan dari perpindahan didalam tahap-tahap yang ada.
C.    TAHAPAN PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL
Feist, Feist dan Robert (2017:254) menjelaskan delapan tahap/fase perkembangan kepribadian menurut Erikson, dimana setiap tahapan memiliki ciri utama yakni di satu pihak bersifat biologis dan di lain pihak bersifat sosial, yang berjalan melalui krisis diantara dua polaritas. Adapun tingkatan dalam delapan tahap perkembangan yang dilalui oleh setiap manusia menurut Erikson adalah sebagai berikut :
1.            Trust vs Mistrust (Kepercayaan vs Kecurigaan)
Tahap ini berlangsung pada masa oral, kira-kira terjadi pada umur 0-1 atau 1 ½ tahun. Tugas yang harus dijalani pada tahap ini adalah menumbuhkan dan mengembangkan kepercayaan tanpa harus menekan kemampuan untuk hadirnya suatu ketidakpercayaan. Kepercayaan ini akan terbina dengan baik apabila dorongan oralis pada bayi terpuaskan, misalnya untuk tidur dengan tenang, menyantap makanan dengan nyaman dan tepat waktu, serta dapat membuang kotoron (eliminsi) dengan sepuasnya.
2.            Otonomi vs Perasaan Malu dan Ragu-ragu
Pada tahap kedua adalah tahap anus-otot (anal-mascular stages), masa ini biasanya disebut masa balita yang berlangsung mulai dari usia 18 bulan sampai 3 atau 4 tahun. Tugas yang harus diselesaikan pada masa ini adalah kemandirian (otonomi) sekaligus dapat memperkecil perasaan malu dan ragu-ragu.
3.             Inisiatif vs Kesalahan
Tahap ketiga adalah tahap kelamin-lokomotor (genital-locomotor stage) atau yang biasa disebut tahap bermain. Tahap ini pada suatu periode tertentu saat anak menginjak usia 3 sampai 5 atau 6 tahun, dan tugas yang harus diemban seorang anak pada masa ini ialah untuk belajar punya gagasan (inisiatif) tanpa banyak terlalu melakukan kesalahan.
4.            Kerajinan vs Inferioritas
Tahap keempat adalah tahap laten yang terjadi pada usia sekolah dasar antara umur 6 sampai 12 tahun. Salah satu tugas yang diperlukan dalam tahap ini ialah adalah dengan mengembangkan kemampuan bekerja keras dan menghindari perasaan rasa rendah diri. Saat anak-anak berada tingkatan ini area sosialnya bertambah luas dari lingkungan keluarga merambah sampai ke sekolah, sehingga semua aspek memiliki peran.
5.            Identitas vs Kekacauan Identitas
Tahap kelima merupakan tahap adolesen (remaja), yang dimulai pada saat masa puber dan berakhir pada usia 18 atau 20 tahun. Pencapaian identitas pribadi dan menghindari peran ganda merupakan bagian dari tugas yang harus dilakukan dalam tahap ini.

6.            Keintiman vs Isolasi
Tahap pertama hingga tahap kelima sudah dilalui, maka setiap individu akan memasuki jenjang berikutnya yaitu pada masa dewasa awal yang berusia sekitar 20-30 tahun. Jenjang ini menurut Erikson adalah ingin mencapai kedekatan dengan orang lain dan berusaha menghindar dari sikap menyendiri.
7.            Generativitas vs Stagnasi
Masa dewasa (dewasa tengah) berada pada posisi ke tujuh, dan ditempati oleh orang-orang yang berusia sekitar 30 sampai 60 tahun. Apabila pada tahap pertama sampai dengan tahap ke enam terdapat tugas untuk dicapai,
8.            Integritas vs Keputusasaan
Tahap terakhir dalam teorinya Erikson disebut tahap usia senja yang diduduki oleh orang-orang yang berusia sekitar 60 atau 65 ke atas. Dalam teori Erikson, orang yang sampai pada tahap ini berarti sudah cukup berhasil melewati tahap-tahap sebelumnya dan yang menjadi tugas pada usia senja ini adalah integritas dan berupaya menghilangkan putus asa dan kekecewaan.

D.    METODE PENELITIAN
Erikson menyatakan bahwa kepribadian adalah produk dari sejarah, kultur, serta biologi. Sehingga metode inverstigasinya mengacu pada hal-hal tersebut. Feist, Feist dan Robert (2017:254) membagi metode riset erikson menjadi dua, yakni (1) Studi Antropologis; dan (2) Psikohistoris.
1.      Studi Antropologi
Studi antropologi yang dilakukan oleh Erikson adalah studi yang mempelajari tentang perilaku manusia yang didasari oleh interaksi, kultur dan sejarah. Erikson melakukan studi antropologi kepada suku Sioux di daerah Pine Ridge Indian Revervation, South Dakota dan suku Yurok di daerah North California.
Berdasarkan studi ini Erikson menemukan bahwa (1) Ketidaksesuaian budaya Sioux dan perkembangan sosial, menjadikan suku Sioux kehilangan ego identitas mereka. Suku Sioux adalah suku yang mahir berburu dan disetiap generasi mengajarkan cara berburu yang handal, namun peralihan kepada suku agraris membuat ego identitas mereka hilang. (2) Nilai kultur, sejarah dan sosial berperan dalam pembentukan kepribadian suku Yurok. Suku Yurok adalah suku yang mahir dalam menangkap ikan, keberadaan ego identitas yang ditanamkan sejak kecil ditambah dengan peran sosial yang selalu mengajarkan tentang cara menangkap ikan yang baik, menjadikan anak-anak suku Yurok semakin kuat kepribadiannya.
2.      Psikohistoris
Feist, Feist dan Robert (2017:255) menjelaskan bahwa Erikson mendefinisikan psikohistoris sebagai studi individu dan kehidupan kolektif dengan metode yang memadukan psikoanalisis dan sejarah. Erikson juga menjelaskan bahwa setiap orang adalah hasil dari sejarah dan masa sejarah dipengaruhi oleh tokoh yang mengalami konflik identitas. Mahatma Gandhi adalah tokoh yang menurut Erikson mampu mengembangkan kekuatan dasar dari beberapa krisis identitasnya. Menurut Eriksikon konflik dalam diri akan menambah momentum yang sangat dibutuhkan untuk semua usaha manusia super.
E.     RISET TERKAIT
1.      Apakah Identitas Mengawali Kedekatan?
Beyers dan Seiffge-Krenke (Feist, Feist dan Robert, 2017:258) melakukan penelitian longitudinal untuk membuktikan teori Erikson tentang tahapan perkembangan yang berkaitan dengan identitas yang pertama kemudian keintiman benar adanya. Penelitian dilakukan pada 52 perempuan dan 41 laki-laki, dimana partisipan diwawancarai ketika berusia 15 tahun dan diwawancarai kembali saat usia 25 tahun. Dari penelitian ini Beyers dan Seiffege-Krenke menyimpulkan bahwa, bahkan di era millennium pun, perkembangan ego pada remaja sangat mempengaruhi keintiman di masa depan. Dengan penelitiannya ini mereka membuktikan bahwa semakin nyaman individu dengan dirinya, akan semakin menikmati keintiman yang berkualitas dengan pasangan.
2.      Generativitas versus Stagnasi
Van Hiel dan rekan-rekannya (Feist, Feist dan Robert, 2017:259) melakukan pengukuran kepada orang dewasa, penelitian ini bertujuan untuk mengukur tingkatan generativitas dan stagnasi yang dimiliki oleh orang dewasa. Hasil studi ini memperkuat anggapan bahwa generativitas dan stagnasi harus dilihat dari dua hal secara terpisah. Seperti stagnasi dan generativitas tidak memprediksi kesehatan mental dengan cara yang sama. Secara konseptua, penelitian ini tidak terlalu jauh dengan model Erikson. Akan tetapi, menunjukkan bahwa untuk tujuan praktis penelitian dan untuk memahami kepribadian dewasa dengan lebih utuh, stagnasi dan generativitas bisa dan kadang beroperasi secara terpisah serta mandiri dalam perkemabangan dewasa.
F.     KRITIK TERHADAP TEORI
Feist, Feist dan Robert (2017:160) menjelaskan beberapa kritik yang diberikan kepada teori psikososial Erikson:
1.      Teori psikososial terbatas pada tahapan perkembangan dalam memahami individu.
2.      Teori Erikson memberikan banyak bimbingan secara umum dalam setiap tahapan perkembangan, namun sedikit memberikan masukan secara detail dan spesifik.
3.      Teori psikososial Erikson tidak mendefinisikan secara operasional dalam memaknai konsep harapan, kemauan, tujuan, cinta, rasa peduli, dll.
4.      Ketetapan istilah adalah sumber kekuatan dalam teori psikososial, namun deskripsi mengenai tahapan psikoseksual dan krisis psikososial, terutama di tahapn-tahapan akhir tidak selalu dibedakan dengan jelas.




G.    CONTOH KASUS
1.      KASUS I
Akhir-akhir ini makin terlihat semarak akan kasus yang berkenaan dengan remaja, salah satunya adalah kenakalan pada remaja (penyalahgunaan obat-obatan, sexual abuse, dsb). Berkaitan dengan kenakalan remaja, terdapat satu kasus dimana di sebuah kota besar banyak terjadi remaja yang melakukan hubungan seksual dan berakhir sial. Remaja-remaja yang terlibat dalam kasus serupa akan memilih jalan pintas seperti pengguguran kandungan, atau yang lebih ekstrim adalah bunuh diri.
Berdasarkan kondisi yang demikian, maka menurut Erikson salah satu tugas perkembangan selama remaja adalah menyelesaikan krisis identitas sehingga terbentuk identitas diri yang stabil pada akhir masa remaja. Pada kondisi seperti kasus di atas, remaja mengalami identitas versus kekacauan identitas yang mana remaja menyalahartikan kedewasaan dengan menyalahgunakan fungsi organ seksual sebelum menikah. Pada masa ini, remaja cenderung ingin melakukan hal-hal baru. Namun dalam pemenuhan keinginan tersebut, seringkali remaja tidak memikirkan dampak dari perbuatannya sehingga cenderung jatuh pada lubang krisis. Hal inilah yang perlu diwaspadai oleh para konselor agar lebih mawas diri akan remaja-remaja masa kini.

2.      KASUS II
Ketidakmampuan individu atas emosinya merupakan permasalahan mendasar timbulnya perilaku maladaptive. Demikian pula remaja, yang cenderung mudah untuk merasa marah dan sedih berkepanjangan. Ketidakmampuan ini pun tergambar pada sebuh kasus dimana siswi X ingin mengakhiri hidupnya karena diputuskan oleh pacarnya. Kejadian ini muncul di suatu sekolah Y dimana siswi tersebut merasakan kehancuran yang mendalam atas apa yang dilakukan oleh pacarnya. Setelah pengusutan berlangsung, akhirnya didapat bahwa kekecewaan siswi terebut lantaran dirinyatelah melakukan hubungan seksual dengan mantan pacarnya dan mantan pacarnya memutuskan untuk mengakhiri hubungan itu. Inilah yang memicu siswi X melakukan tindakan criminal bunuh diri.
Dalam kasus ini, Erikson memandang bahwa siswi X mengalami gangguan secara afeksi sehingga tidak mampu mengelola perasaannya dan berujung pada jalan pintas yakni bunuh diri. Aspek afeksi merupakan tujuan yang berhubungan dengan perasaan, emosi sistem nilai dan sikap. Pemicu utama tetaplah bahwa siswa tersebut mengalami krisis identitas yang mempunyai kepekaan perasaan terhadap rangsangan dari luar secara berlebihan. Melihat kasus yang seperti ini, kecemasan siswi muncul akibat perbuatan yang dilakukannya menyimpang sehingga dirinya mengalami ketakutan berlebih, kemarahan akan diri sendiri dan orang lain serta penyesalan yang mendalam. Oleh karena itu siswi yang tidak matang secara emosi akan mudah meutuskan jalan pintas dengan menyakiti diri maupun orang lain. Oleh akrena itu, butuh pendampingan yang ekstensif guna meredakan kecemasan emosinal dan tidak membiarkan siswi tersebut sendiri untuk jangkan waktu tertentu, karena dikhawatirkan akan berbuat hal yang serupa atau lebih parah.

3.      KASUS III
Ketidakpercayaan merupakan hal lumrah dirasakan setiap individu, tetapi tidak bagi bunga (nama disamarkan). Bunga seringkali mengalami kecemasan dan kekhawatiran terhadap orang lain, misalnya saja dengan pasangannya. Ketidakpercayaan yang berlebihan pada pasangannya sering memicu pertengkaran dan berujung pada menyesal atas hubungan yang telah dibina, dan kejadian ini berulang kali terjadi. Erikson memandang bahwa kasus di atas berhubungan dengan kepercayaan versus ketidakpercayaan. Bunga mengalami hal demikian dapat dilihat pada usia 0-18 bulan, apakah dirinya mengalami hubungan yang hangat dengan ibunya atau tidak. Hal inilah lantas akan terbawa pada usia dewasanya yang cenderung tidak memiliki kepercayaan penuh atas tindakan orang lain sehingga memicu adanya pertengkaran antara dirinya dengan pasangannya.

DAFTAR PUSTAKA

Feist, Feist dan Robert. (2017). Teori Kepribadian 8th. Jakarta: Salemba Humanika
Olson, M Mathew. 2013. Pengantar Teori-Teori Kepribadian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Mc Leod, John. 2015. Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus. Jakarta: Prenadamedia Group



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Budaya dan Atrubusi

BUDAYA dan ATRIBUSI A.     Definisi Atribusi Mendengar kata atribusi tentunya tidak asing dalam keseharian, namun apakah sebenarnya a...