BUDAYA
dan ATRIBUSI
A. Definisi
Atribusi
Mendengar kata atribusi tentunya
tidak asing dalam keseharian, namun apakah sebenarnya atribusi itu, dan berasal
darimanakah? Atribusi adalah kesimpulan yang dihasilkan oleh individu mengenai
penyebab dalam suatu kejadian tertentu. Atribusi juga mewakili individu
memahami kehidupan dan perilaku individu lain. Sebagai contoh seringkali
seseorang menghubungkan keberhasilan ataupun kegagalan dengan kerja keras atau
hanya sebatas keberuntungan. Inilah yang dinamakan atribusi yang seringkali
disematkan oleh individu dalam setiap peristiwa.
Selaras
dengan pembahasan pada bab I yang mengatakan bahwa kemampuan kognisi individu
memungkinkan mereka untuk menciptakan budaya, ternyata menurut Matsumoto (2013)
kemampuan kognisi juga dapat mempengaruhi gaya pengatribusian seseorang.
Atribusi-atribusi yang diciptakan oleh individu memberikan gambaran dalam
memperjelas kejadian dan membuat sense
pada peristiwa atau kejadian tersebut. Hal lainnya bahwa pengatribusian ini
menjadi keunikan kemampuan kognisi individu untuk mengerti tentang dirinya dan
orang lain bahwa mereka adalah agen kesengajaan atau intentional agents. Apa itu intentional
agents? Penyebab adanya sebutan agen kesengajaan atau intentional agent menurut Matsumoto (2013) adalah niat atau
kehendak dalam setiap perbuatannya. Artinya bahwa setiap individu memiliki
kebutuhan-kebutuhan, motivasi-motivasi, hasrat/keinginan-keinginan, serta
tujuan-tujuan yang terkadang menjadi kendali atas perbuatan dan perilaku
mereka. Jadi kognisi dan budaya berkaitan erat dengan gaya pengatribusian
seseorang, bahkan semua budaya memiliki bentuk pengatribusian masing-masing.
Kenyataannya segala peristiwa dan perilaku seseorang tentu dibumbui dengan
bentuk atribusi baik dari dirinya sendiri maupun dari orang lain.
Sebenarnya,
pengatribusian ini telah menjadi kajian hangat dalam sejarah perkembangan
psikologi. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, atribusi dibagi menjadi
dua bentuk gaya yakni internal attributions (dispositional
attributions) yang menghubungkan antara keberhasilan dan kegagalan dengan
faktor internal seperti kepribadian, usaha, dan niat dalam diri sendiri,
sedangkan gaya pengatribusian yang lain adalah external attributions
(situational dispositions) yang seringkali mengkaitkan kegagalan dan
keberhasilan dengan faktor situasional atau outside of person seperti
kesalahan orang lain, faktor alam, dan bahkan campur tangan Tuhan.
B. Perbedaan
Budaya dalam Gaya Atribusi
Atribusi
adalah hasil dari pikiran dan budaya sehingga terkadang bukanlah hasil
kenyataan secara obyektif, karena atribusi adalah hasil subyektifitas pikiran
yang banyak tersusun atas bias-bias. Salah satu bias tersebut biasanya disebut fundamental
attribution error atau bisa disebut correspondence
bias yang mengacu pada kesimpulan bias (Matsumoto, 2013). Hal ini ter-replikasi
pada banyak penelitian di Amerika. Peneliti multibudaya melakukan sosial
eksperimen terhadap orang Amerika dengan orang India yang beragama Hindu.
Keduanya dihadapkan pada suatu kejadian dimana mereka diharuskan untuk
memberikan persepsi dan penilaian pada peristiwa tersebut, alhasil didapatkan
sebuah perbedaan sudut pandang yang berkontibusi pada gaya pengatribusian yakni
jika orang Amerika lebih melihat peristiwa tertentu dari sudut pandang
pelakunya misalnya “perempuan itu sangat tidak bertanggung jawab”, sedangkan
orang India menjelaskan bahwa peristiwa tersebut dapat dilihat dari berbagai
faktor misalnya tanggung jawab individu, pola lingkungan sekitarnya, dan
situasi-situasi lain yang bereknaan dengan peristiwa tersebut.
Perbedaan
keduanya jelas menunjukkan bahwa budaya dan pola pikir inidvidu menentukan
bagaimana gaya mereka dalam menciptakan penyebab terjadinya suatu peristiwa. Adapun
jenis bias atribusi yang lain adalah self-serving bias, yakni menciptakan
internal attribution (faktor
personal) pada kesuksesannya dan faktor situasional pada kegagalannya. Misalkan
individu mengalami kegagalan, maka dirinya akan menguhubungkannya dengan
penyebab-penyebab situasional seperti materi test yang kurang bagus, pengajaran
yang tidak sesuai, gangguan-gangguan, atau situasi rumah yang tidak mendukung.
Sedangkan kesuksesan akan dihubungkan dengan kemampuan, usaha dan kerja keras
mereka.
Peran
budaya lah yang menjadikan perbedaan ini, tentu saja hal ini terkadang
memberikan perbedaan bentuk tanggung jawab. Kaitannya dengan hal ini adalah
mengenai budaya orang Amerika yang cenderung individual dan orang Asia yang
kolektiv. Penelitian yang terangkum dalam Matsumoto (2013) menjelaskan bahwa
pola budaya yang demikian sangat menentukan bagaimana individu merespon segala
peristiwa lalu menghubungkannya pada faktor internal atau memilih faktor
eksternal sebagai penyebab peristiwa tersebut. Orang Asia juga mengikutsertakan
faktor keberuntungan, kekayaan keluarga, etnis, dan jenis kelamin sebagai
atribusi mereka.
Namun
tidak semua gaya atribusi merupakan hasil dari atribusi bias karena terdapat
bentuk atribusi lain yang mengkaitkan mengenai sejauh mana individu percaya
pada pandangan atau kepercayaan tradisional yang bersifat consensus budaya.
C. Universalitas
dan Spesifikasi Budaya dalam Gaya Atribusi
Meskipun
perbedaan budaya menjadi penentu gaya pengatribusian individu, namun satu
pertanyaan yang penting bahwa sejauh mana kedua mempengaruhi gaya atribusi individu?
Perbedaan
budaya banyak menjelaskan sejauh mana gaya astribusi individu seperti orang
Amerika banyak melakukan attribution error daripada orang Asia. Choi, Nisbett
dan Norenzayan (1999, dalam Matsumoto 2013) membuktikannya dengan mengajak
orang Amerika dan orang Asia memberikan penyikapan dan penilaian pada
sekelompok individu yang telah dikondisikan sebelumnya (kelompok pertama tidak
disertai dengan informasi kepribadian, dan kelompok kedua disertai informasi
kepribadian). Hasilnya adalah ketika orang Asia menjelaskan penyebab pada
sekelompok individu tanpa informasi kepribadian mereka, orang Asia lebih banyak
memberikan penyebab situasional daripada orang Amerika, namun ketika sekelompok
individu diserta dengan informasi kepribadian, maka orang Amerika dan orang
Asia cenderung tidak ada perbedaan yang signifikan dalam menciptakan atribusi.
Hasil
meta analisis dari Mezulis, Abramson, Hyde dan Hankin (2004, dalam Matsumoto
& Juang 2013) memberikan gambaran bahwa sebagaian besar populasi melakukan self-serving bias, tidak ada ukuran
perbedaan pada budaya karena baik orang Amerika dan Asia sama-sama
melakukannya, meskipun orang Asia lebih banyak memunculkan atribusi eksternal
karena dipengaruhi budaya kolektivisme dan hal ini tidaklah menjadi pembeda
yang signifikan. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa gaya atribusi sebagaian
besar sama secara universal. Temuan baru dari Norenzayan & Lee (2010, dalam
Matsumoto & Juang, 2013) menjelaskan adanya faktor agama dan dialektika
yang dapat mempengaruhi gaya atribusi.
Dengan
demikian correspondence bias dan self-serving bias menjadi faktor
universal mengingat telah dibahas di awal bahwa individu merupakan intentional agents. Sedangkan budaya
menjadi aspek atribusi bias dengan perannya dalam menjaga citra diri. Jelas
saja bahwa semua budaya memiliki aspek universal untuk mempertahankan citra
diri serta melindungi intregitas mereka dan atribusi inilah yang menjadi cara
mereka mencapai tujuan itu. Masing-masing budaya mengajarkan individu dalam
menentukan atribusi dan ini relative. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa
budaya dapat menghasilkan gaya atribusi secara spesifik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar