SISTEM DAN
KEBIJAKAN PENDIDIKAN: ANALISIS KONSTRUKTIVIS
“Materi Pembelajaran”
Oleh : Ajeng
Intan Nur Rahmawati
Pendidikan adalah usaha sadar untuk
menyiapkan peserta didik agar dapat berperan aktif dan positif untuk kehidupan
masa kini dan masa depan. Berbagai cara dan program dilakukan demi pemenuhan
tujuan pendidikan yang sesuai dengan harapan masa depan. Namun apakah tujuan
pendidikan telah layak dipertanggungjawabkan? Lalu siapa yang harus disalahkan?
Jawaban yang
sesuai adalah dengan banyak berinstropeksi dan tidak bisa menyalahkan
pemerintah seratus persen, kendati demikian pemerintah tetap harus bertanggung jawab
atas malapetaka tersebut. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan mengapa
kualitas pendidikan kita bernasib sedemikian tragis. Pertama, mengenai
pemerintah berpolitis dan menyebabkan atmosfer pendidikan labil. Kedua, mengenai
kondisi keuangan pemerintah yang kurang memadai dalam pencapaian pemerataan
pendidikan. Ketiga, mengenai SDM yang bisa menghambat laju pembangunan
pendidikan. Dan keempat adalah minimnya kesadaran berbagai pihak dalam
efektifitas dan efesiensi pendidikan. Kondisi-kondisi tersebut memicu lambannya
laju integritas pendidikan khususnya di Indonesia, bak pepatah jawa mengatakan “cecak nguntal cagak” artinya bahwa
suatu keinginan yang tidak diimbangi dengan kekuatan. Oleh karena itu perlu
ditarik benang merah untuk bisa mendapatkan arah yang sesuai dalam penanganan
permasalahan ini.
Telah
dijelaskan pula dalam PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan
bab IV pasal 19 ayat 1 bahwa proses
pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif,
inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa,
kreativitas dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik
serta psikologis peserta didik. (Muhari, 2004)
Untuk mengupas
ketidaksesuaian antara keinginan dan harapan dengan kenyataan yang ada, maka
tulisan ini menyajikan hasil analisis mengenai salah satu komponen dalam system
pendidikan yakni mengenai materi pembelajaran yang perlu ditinjau ulang melalui
analisis pemikiran konstruktivisme.
Aliran
konstruktivisme adalah salah satu aliran yang akhir-akhir ini marak
diperbincangkan. Teori ini menitik beratkan pada “kebermaknaan diri” dalam
memahami suatu peristiwa. Orientasi konstruktivisme telah diadopsi dalam pendidikan
dengan mengutamakan pembelajar untuk mandiri dan bertanggung jawab atas apa
yang telah diperoleh dari proses pemahamannya. Menjadi ironi memang ketika
melihat peserta didik masih mengandalkan dan berfikir bahwa pengajar adalah
faktor utama penentu keberhasilan. Dengan mental seperti itu, peserta didik
belum mampu berdiri sendiri tanpa “dicekoki”
materi oleh pengajar. Model pembelajaran seperti itu adalah hasil sumbangsih
dari aliran behavioristik yang terlalu mekanistik dan kurang mampu mengembangkan
potensi siswa secara optimal.
Sebelum
mendalami kajian konstruktivis dalam aspek pendidikan, perlu diketahui bahwa
dalam aliran konstruktivisme memiliki tiga jenis yakni konstruktivis
psikologis/individual, konstruktivis sosialis, dan konstruktivis sosiologis. Jean
Piaget melatarbelakangi konstruktivis psikologis dengan skema, asimilasi,
akomodasi dan equilibrium, sedangkan Vygotsky menambahkan pengaruh interaksi
sosial dalam konstruktivisme sosialis dan J.S Bruner meletakkan unsur “discovery learning” dalam
konstruktivisme sosiologisnya. (Hergenhahn, 2008:324)
Konstruktivisme
memandang bahwa individu memiliki potensi dalam dirinya untuk bisa membangun
daya dan kemampuan sehingga menemukan “meaningfulness
self”. Oleh karena itu salah satu fasilitas yang mendukung pencapaian
tujuan konstruktivis adalah materi pembelajaran. Di samping merombak model dan
cara pengajaran, perlu adanya tinjauan ulang mengenai materi dan bahan yang akan
disampaikan untuk peserta didik. Artikel ini fokus menganalisis tentang materi
pembelajaran. Mengapa perlu adanya analisis materi pembelajaran dari kacamata
konstruktivis? Bukankah sudah cukup hanya dengan merombak model si pengajar?
Pengalaman
pendidikan harus dibangun pada seputar struktur kognitif pemelajar. Anak-anak
berusia sama dan dari kultur yang sama cenderung memiliki struktur kognitif
yang sama, namun tidak menutup kemungkinan beberapa dari mereka memiliki
struktur kognitif yang berbeda sehingga diperlukan materi belajar yang berbeda
pula. Di satu sisi, materi pendidikan yang tidak bisa diasimilasikan ke dalam
struktur kognitif anak maka proses pembelajaran akan tidak bermakna, sedangkan
di sisi lain ketika materi bisa diasimilasikan secara menyeluruh maka proses
belajar tidak akan terjadi. Oleh karena itu agar proses belajar mengarah kepada
“belajar bermakna” maka materi perlu sebagaian sudah diketahui dan sebagaian
belum. Bagian yang sudah diketahui akan diasimilasi dan bagian yang belum
diketahui akan dimodifikasi dalam struktur kognitif anak atau dengan kata lain
terjadi akomodasi dalam proses belajar.
Jadi, mengacu
pada pemahaman belajar bermakna, materi pembelajaran sebaiknya disesuaikan dengan
tingkat pencapaian kognitif, latar budaya serta wilayah pembelajar. Pemerintah
dan guru harus mengetahui level struktur kognitif siswa dan tidak bisa
menyamaratakan materi pembelajaran. Didukung pula dengan permasalahan
ketidakmerataan pendidikan khususnya di Indonesia karena menganggap level
berfikir pembelajar satu dengan lainnya sama. Oleh sebab itu perlu adanya
peninjauan ulang mengenai kebutuhan materi peserta didik dari berbagai pelosok
daerah agar pemerintah dan guru mengetahui materi yang dibutuhkan sehingga
pembelajaran bermakna bisa diwujudkan. Dapat dicontohkan dengan melihat tahapan
berfikir Piaget (2008) bahwa pada tahapan pra-operational
anak telah mampu membentuk konsep sederhana mengani suatu benda. Di
Surabaya mungkin anak sudah mampu memberikan definisi mengenai “tongsis”, namun apakah anak-anak Ds.
Ngadu Ngala Kab.Sumba Timur sama bisanya membentuk konsep sedemikian rupa?
Begitu pula sebaliknya, apakah anak Surabaya bisa memberikan konsep mengenai “otto” (kendaraan yang penumpangnya
manusia bercampur hewan)? Jawabannya adalah belum tentu bisa. Dengan melihat
perumpamaan sederhana itu maka bisa dikatakan bahwa meski kognitif setiap
individu diklasifikasikan sama, tetapi dengan kultur dan letak geografis yang
berbeda akan berbeda pula kebermaknaan proses pembelajaran.Semua komponen
tersebut tidak bisa diceraikan dan diabaikan karena menjadi satu kesatuan.
Dapat
disimpulkan bahwa dengan menyadari bahwa kemampuan asimilasi bervariasi pada
tiap anak, maka perlu penyesuaian materi pendidikan yang sesuai pula dengan
struktur kognitif anak. Karena pendidikan yang optimal membutuhkan pengalaman
yang menantang bagi si pembelajar sehingga proses asimilasi dan akomodasi dapat
menghasilkan pertumbuhan intelektual.
DAFTAR RUJUKAN
B.R. Hergenhahn & Matthew H. Olson. 2008. Theories of Learning (Teori Belajar).
Terjemahan Tri Wibowo B.S. Jakarta: Media Grafika
Matt, Jarvis. 2006. Teori-Teori Psikologi. Terjemahan SPA – Temawork. Bandung:
Nusamedia Nuansa
Moch. Nursalim, dkk. 2007. Psikologi Pendidikan. Surabaya: Unesa University Press
Muhari. 2004. Teori
dan Praktik Pendidikan. Surabaya: Unesa University Press
Haryanto. 2010. Teori
yang Melandasi Pembelajaran Konstruktivisme. http//staff.uny.ac.id/sites/default/files/131656343/TEORI%20KONSTRUKTIVISTIK.pdf
(diunduh 26 November 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar