Minggu, 08 Juli 2018

SISTEM DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN: ANALISIS KONSTRUKTIVIS


SISTEM DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN: ANALISIS KONSTRUKTIVIS
“Materi Pembelajaran”
Oleh : Ajeng Intan Nur Rahmawati
Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik agar dapat berperan aktif dan positif untuk kehidupan masa kini dan masa depan. Berbagai cara dan program dilakukan demi pemenuhan tujuan pendidikan yang sesuai dengan harapan masa depan. Namun apakah tujuan pendidikan telah layak dipertanggungjawabkan? Lalu siapa yang harus disalahkan?
Jawaban yang sesuai adalah dengan banyak berinstropeksi dan tidak bisa menyalahkan pemerintah seratus persen, kendati demikian pemerintah tetap harus bertanggung jawab atas malapetaka tersebut. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan mengapa kualitas pendidikan kita bernasib sedemikian tragis. Pertama, mengenai pemerintah berpolitis dan menyebabkan atmosfer pendidikan labil. Kedua, mengenai kondisi keuangan pemerintah yang kurang memadai dalam pencapaian pemerataan pendidikan. Ketiga, mengenai SDM yang bisa menghambat laju pembangunan pendidikan. Dan keempat adalah minimnya kesadaran berbagai pihak dalam efektifitas dan efesiensi pendidikan. Kondisi-kondisi tersebut memicu lambannya laju integritas pendidikan khususnya di Indonesia, bak pepatah jawa mengatakan “cecak nguntal cagak” artinya bahwa suatu keinginan yang tidak diimbangi dengan kekuatan. Oleh karena itu perlu ditarik benang merah untuk bisa mendapatkan arah yang sesuai dalam penanganan permasalahan ini.
Telah dijelaskan pula dalam PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan bab IV  pasal 19 ayat 1 bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. (Muhari, 2004)
Untuk mengupas ketidaksesuaian antara keinginan dan harapan dengan kenyataan yang ada, maka tulisan ini menyajikan hasil analisis mengenai salah satu komponen dalam system pendidikan yakni mengenai materi pembelajaran yang perlu ditinjau ulang melalui analisis pemikiran konstruktivisme.
Aliran konstruktivisme adalah salah satu aliran yang akhir-akhir ini marak diperbincangkan. Teori ini menitik beratkan pada “kebermaknaan diri” dalam memahami suatu peristiwa. Orientasi konstruktivisme telah diadopsi dalam pendidikan dengan mengutamakan pembelajar untuk mandiri dan bertanggung jawab atas apa yang telah diperoleh dari proses pemahamannya. Menjadi ironi memang ketika melihat peserta didik masih mengandalkan dan berfikir bahwa pengajar adalah faktor utama penentu keberhasilan. Dengan mental seperti itu, peserta didik belum mampu berdiri sendiri tanpa “dicekoki” materi oleh pengajar. Model pembelajaran seperti itu adalah hasil sumbangsih dari aliran behavioristik yang terlalu mekanistik dan kurang mampu mengembangkan potensi siswa secara optimal.
Sebelum mendalami kajian konstruktivis dalam aspek pendidikan, perlu diketahui bahwa dalam aliran konstruktivisme memiliki tiga jenis yakni konstruktivis psikologis/individual, konstruktivis sosialis, dan konstruktivis sosiologis. Jean Piaget melatarbelakangi konstruktivis psikologis dengan skema, asimilasi, akomodasi dan equilibrium, sedangkan Vygotsky menambahkan pengaruh interaksi sosial dalam konstruktivisme sosialis dan J.S Bruner meletakkan unsur “discovery learning” dalam konstruktivisme sosiologisnya. (Hergenhahn, 2008:324)
Konstruktivisme memandang bahwa individu memiliki potensi dalam dirinya untuk bisa membangun daya dan kemampuan sehingga menemukan “meaningfulness self”. Oleh karena itu salah satu fasilitas yang mendukung pencapaian tujuan konstruktivis adalah materi pembelajaran. Di samping merombak model dan cara pengajaran, perlu adanya tinjauan ulang mengenai materi dan bahan yang akan disampaikan untuk peserta didik. Artikel ini fokus menganalisis tentang materi pembelajaran. Mengapa perlu adanya analisis materi pembelajaran dari kacamata konstruktivis? Bukankah sudah cukup hanya dengan merombak model si pengajar?
Pengalaman pendidikan harus dibangun pada seputar struktur kognitif pemelajar. Anak-anak berusia sama dan dari kultur yang sama cenderung memiliki struktur kognitif yang sama, namun tidak menutup kemungkinan beberapa dari mereka memiliki struktur kognitif yang berbeda sehingga diperlukan materi belajar yang berbeda pula. Di satu sisi, materi pendidikan yang tidak bisa diasimilasikan ke dalam struktur kognitif anak maka proses pembelajaran akan tidak bermakna, sedangkan di sisi lain ketika materi bisa diasimilasikan secara menyeluruh maka proses belajar tidak akan terjadi. Oleh karena itu agar proses belajar mengarah kepada “belajar bermakna” maka materi perlu sebagaian sudah diketahui dan sebagaian belum. Bagian yang sudah diketahui akan diasimilasi dan bagian yang belum diketahui akan dimodifikasi dalam struktur kognitif anak atau dengan kata lain terjadi akomodasi dalam proses belajar.
Jadi, mengacu pada pemahaman belajar bermakna, materi pembelajaran sebaiknya disesuaikan dengan tingkat pencapaian kognitif, latar budaya serta wilayah pembelajar. Pemerintah dan guru harus mengetahui level struktur kognitif siswa dan tidak bisa menyamaratakan materi pembelajaran. Didukung pula dengan permasalahan ketidakmerataan pendidikan khususnya di Indonesia karena menganggap level berfikir pembelajar satu dengan lainnya sama. Oleh sebab itu perlu adanya peninjauan ulang mengenai kebutuhan materi peserta didik dari berbagai pelosok daerah agar pemerintah dan guru mengetahui materi yang dibutuhkan sehingga pembelajaran bermakna bisa diwujudkan. Dapat dicontohkan dengan melihat tahapan berfikir Piaget (2008) bahwa pada tahapan pra-operational anak telah mampu membentuk konsep sederhana mengani suatu benda. Di Surabaya mungkin anak sudah mampu memberikan definisi mengenai “tongsis”, namun apakah anak-anak Ds. Ngadu Ngala Kab.Sumba Timur sama bisanya membentuk konsep sedemikian rupa? Begitu pula sebaliknya, apakah anak Surabaya bisa memberikan konsep mengenai “otto” (kendaraan yang penumpangnya manusia bercampur hewan)? Jawabannya adalah belum tentu bisa. Dengan melihat perumpamaan sederhana itu maka bisa dikatakan bahwa meski kognitif setiap individu diklasifikasikan sama, tetapi dengan kultur dan letak geografis yang berbeda akan berbeda pula kebermaknaan proses pembelajaran.Semua komponen tersebut tidak bisa diceraikan dan diabaikan karena menjadi satu kesatuan.
Dapat disimpulkan bahwa dengan menyadari bahwa kemampuan asimilasi bervariasi pada tiap anak, maka perlu penyesuaian materi pendidikan yang sesuai pula dengan struktur kognitif anak. Karena pendidikan yang optimal membutuhkan pengalaman yang menantang bagi si pembelajar sehingga proses asimilasi dan akomodasi dapat menghasilkan pertumbuhan intelektual.











DAFTAR RUJUKAN
B.R. Hergenhahn & Matthew H. Olson. 2008. Theories of Learning (Teori Belajar). Terjemahan Tri Wibowo B.S. Jakarta: Media Grafika
Matt, Jarvis. 2006. Teori-Teori Psikologi. Terjemahan SPA – Temawork. Bandung: Nusamedia Nuansa
Moch. Nursalim, dkk. 2007. Psikologi Pendidikan. Surabaya: Unesa University Press
Muhari. 2004. Teori dan Praktik Pendidikan. Surabaya: Unesa University Press
Haryanto. 2010. Teori yang Melandasi Pembelajaran Konstruktivisme. http//staff.uny.ac.id/sites/default/files/131656343/TEORI%20KONSTRUKTIVISTIK.pdf (diunduh 26 November 2016)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Budaya dan Atrubusi

BUDAYA dan ATRIBUSI A.     Definisi Atribusi Mendengar kata atribusi tentunya tidak asing dalam keseharian, namun apakah sebenarnya a...