Minggu, 08 Juli 2018

TEORI KOGNITIF SOSIAL BANDURA


RESUME TEORI KOGNITIF SOSIAL
BANDURA
A.    BIOGRAFI BANDURA
Albert Bandura dilahirkan pada 4 Desember 1952 di Mundare, suatu kota kecil di dataran utara Alberta. Kedua orang tuanya telah beremigrasi dari Negara Eropa Timur saat Bandura remaja. Sejak saat itu, Bandura belajar untuk mengarahkan dirinya sendiri di sekolah kecil yang ada di kota tersebut, yang hanya memiliki guru sedikit dan sumber daya yang sedikit pula. Pdaa keadaan tersebut, proses belajar bergantung ada inisiatif Bandura, sehingga dirinya sampai pada jenjang Perguruan Tinggi, dan menjadi psikolog.
Bandura berkegiatan dengan orang-orang yang bergerak dalam ranahh psikologi klinis. Setelah lulus dari British Colombia dalam waktu tiga tahun, Bandura mencari progam pascasarjana psikologis klinis yang emmpunyai dasar teoritis yang kuat. Penasihatnya merekomendasikan University of Lowa sehingga dirinya meninggalkan Kanada untuk pergi ke Amerika Serikat. Buku-bukunya yang berpengaruh adalah sosial Learning Theory, Social Foundation of Thought And Action, dan Self-Efficacy: The Exercise of Control.

B.     PRINSIP-PRINSIP TEORI
Feist, Feist & Robert (2017) menjelaskan 5 prinsip dasar teori Bandura:
1.      Plastisitas yakni fleksibilitas individu untuk belajar berbagai jenis perilaku dalam situasi yang berbeda-beda.
2.      Triadic reciprocal causations model artinya individu memiliki kemampuan mengontrol kehidupannya, yang meliputi perilaku, lingkungan dan faktor pribadi.
3.      Perspektif agen, yaitu manusia mempunyai kapasitas untuk mengontol sifat dan kualitas hidup mereka.
4.      Manusia mengkontrol tingkah laku dari perspektif internal dan eksternal
5.      Manusia menggunakan agensi moral untuk mengkontrol kondisi ambiguitas moral.

C.    PANDANGAN TENTANG ILMU KEPRIBADIAN
Bandura (Salkin, 2004) mempercayai dan memaknai kepribadian dari beberapa unsur:
1.      Pertama, Bandura berpendapat manusia dapat berfikir dan mengatur tingkah lakunya sendiri; sehingga mereka bukan semata-mata bidak yang menjadi obyek: pengaruh lingkungan. Sifat kausal bukan dimiliki sendirian oleh lingkungan, karena orang dan lingkungan saling mempengaruhi.
2.      Kedua, Bandura menyatakan, banyak aspek fungsi kepribadian melibatkan interaksi orang itu dengan orang lain. Dampaknya, teori kepribadian yang memadai harus memperhitungkan konteks sosial di mana tingkah laku itu diperoleh dan di pelihara. Teori belajar sosial (Social learning theory) dari Bandura, didasarkan pada konsep saling menentukan (reciprocal determinism), tanpa penguatan (beyond reinforce), dan pengaturan diri/berifikir (self-regulation/cognition).
Bandura (Salkin) mengungkapkan bawah “determinis resiprokal” (DR) adalah konsep yang penting dalam teori belajar sosial Bandura. “DR” menjadi pijakan Bandura dalam memahami tingkah laku. Teori belajar sosial memakai determinis sebagai prinsip dasar untuk menganalisis fenomena psiko-sosial di berbagai tingkat kompleksitas, dari perkembangan intrapersonal sampai tingkah laku interpersonal serta fungsi interaktif dari organisasi dan sistem sosial.
Selanjutnya Bandura (Salkin, 2004) juga menjelaskan bahwa pembentukan perilaku tidak harus dengan menggunakan reinforce. reinforce penting dalam menen-tukan apakah suatu tingkahlaku akan terus terjadi atau tidak, tetapi itu bukan satu­satunya pembentuk tingkahlaku. Orang dapat belajar melakukan sesuatu hanya dengan mengamati dan kemudian mengulang apa yang dilihatnya. Belajar melalui observasi tanpa ada reforsemen yang terlibat, berarti tingkah laku ditentukan oleh antisipasi konsekuensi, itu merupakan pokok teori belajar sosial.
Bandura (Salkin, 2004) menempatkan manusia sebagai pribadi yang dapat mengatur dixi sendiri (self-regulation), mempengaruhi tingkah laku dengan cara mengatur lingkungan, menciptakan dukungan kognitif, mengadakan konsekuensi bagi tingkahlakunya sendiri. Kemampuan kecerdasan untuk berfikir simbolik menjadi sarana yang kuat untuk menangani lingkungan, misalnya dengan menyirnpan pengalaman (dalam ingatan) dalam ujud verbal dan gambaran imaginasi untuk kepentingan tingkahlaku pada masa yang akan datang. Kemampuan untuk menggambarkan secara imaginatif basil yang diinginkan pada masa yang akan datang mengembangkan strategi tingkah laku yang membimbing ke arah tujuan jangka panjang.
D.    TEORI KEPRIBADIAN SOSIAL-KOGNITIF STRUKTUR
Bandura (Feist, Feist & Robert, 2017) menjelaskan bahwa kepribadian individu sejatinya tersusun dari tiga konsep timbal balik dari interaksi perilaku (B), variabel manusia (P) dan lingkunan (E), ketiga unsur ini diistilahkan dengan triadic reciprocal causation. Pada dasarnya kepribadian manusia itu merupakan hasil interaksi antara lingkungan, tingkah laku, dan kognisi. “Manusia” yang dimaksud oleh Bandura diaplikasikan secara umum walaupun tidak eksklusif, seperti faktor kognitif, yaitu memori, antisipasi, perencanaan, dan penilaian.
Oleh karena manusia memiliki dan menggunakan kapasitas kognitif ini, mereka mempunyai kapasitas untuk memilih atau melakukan restrukturisasi pada lingkungan mereka , yaitu kognisi merupakan sebagian hal yang menentukan kejadian apa yang diperhatikan oleh seseorang, nilai-nilai apayang mereka letakkan pada kejadian apa yang diperhatikan oleh seseorang, nilai-nilai apa yang mereka latakkan pada kejadian tersebut, dan bagaimana mereka mengorganisasikan kejadian tersebut untuk digunakan dimasa depan. Kognisi sendiri di tentukan dan dibentuk oleh perilaku dan lingkungan.
Bandura menggunakan istilah “timbal balik” untuk mengindikasikan adanya interaksi dari dorongan-dorongan, tidak hanya satu tindakan yang sama atau berlainan. Ketiga faktor yang berhubungan timbal balik tidak perlu mempunyai kekuatan yang sama atau memberikan kontribusi yang setara. Pengaruh yang relatif dari perilaku, lingkungan, dan manusia bergantung pada faktor triadic yang terkuat dalam satu momen.
Hal utama dari pendekatan tradisional ini, untuk terjadinya belajar, manusia harus melakukan performa/tampilan utama dan kemudian diberi hadiah. Menurut teori belajar social, perbuatan melihat saja menggunakan gambaran kognitif dari tindakan , secara rinci dasar kognisi dalam proses belajar dapat diringkas dalam 4 tahap yaitu : atensi/perhatian, retensi/mengingat, reproduksi gerak, dan motivasi.
1)      Atensi / Perhatian Jika reaksi baru yang dipelajari dari melihat/mendengar lainnya, maka hal itu jelas bahwa tingkat memberi perhatian yang lain akan menjadi yang terpenting. Lebih mendalam lagi berikut faktor-faktor untuk mendapatkan perhatian: (1) penekanan penting dari perilaku menoonjol (2) memperoleh perhatian dari ucapan /teguran (3) membagi aktivitas umum dalam bagian –bagian yang wajar jadi komponen keterampilan dapat menonjol.
2)      Retensi Setiap gambaran perilaku disimpan dalam memori atau tidak, dan dasar untuk penyimpanan merupakan metode yang digunakan untuk penyandian atau memasukkan respon. Penyandian dalam symbol verbal dipermudah oleh berpikir aktif orang atau ringkasan secara verbal tindakan yang mereka amati. Waktu respon yang diamati disandikan, ingatan kesan visual atau symbol verbal dapat berlanjutdengan melatih kembali secara mental. Dengan begitu, penyandian akan mencoba untuk berpikir giat mengenai tindakan dan memikirkan kembali penyandian verbal.
3)      Reproduksi Gerak Waktu fakta-fakta dari tindakan baru disandikan dalam memori, mereka harus dirubah kembali dalam tindakan yang tepat. Rangkaian tindakan baru merupakan symbol pertama pengaturan dan berlatih, semua waktu dibandiungkan dengan ingatan/memori dari perilaku model. Penyesuaian dibuat dalam rangkaian tindakan baru, dan rangkaian perilaku awal. Perilaku sebenarnya dicatat oleh orang dan mungkin juga oleh pengamat yang memberikan timbal balik yang benar dari perilaku suka meniru. Dasar penyesuaian dari timbal balik membuat pengaturan simbolik rangkaian tindakan baru, dan rangkaian perilaku dimulai lagi. Teori belajar social memperkenalkan tiga prasyarat utama untuk berhasil dalam proses ini. Pertama, orng harus memiliki komponen keterampilan. Biasanya rangkaian perilaku model dalam penelitian Bandura buatan dari komponen perilaku yang sudah diketahui orang. Kedua, orang harus memiliki kapasitas fisik untuk membawa komponen keterampilan dalam mengkoordinasikan gerakan. Terakhir, hasil yang dicapai dalam koordinasi penampilan/ pertuntukan memerlukan pergerakan individu yang dengan mudah tampak.
4)      Penguatan dan Motivasi Pokok persoalan dari atensi, retensi, dan reproduksi gerak sebagian besar berhubungan dengan kemampuan orang untuk meniru perilaku penguatan menjadi relevan. Ketika kita mencoba menstimulus orang untuk menunjukkan pengetahuan pada perilaku yang benar. Walaupun teori belajar social mengandung penguatan untuk tidak menambah pengetahuan guna “mengecap dalam perilaku”, itu peran utama memberi penguatan (hadiah & hukuman) seperti seorang motivator.
Secara ringkas, teori belajar social Bandura memiliki 2 implikasi penting : (1) respon baru mungkin dipelajari tanpa having to perform them (learning by observation) (2) hadiah dan hukuman terutama mempengaruhi pertunjukan (performance) dari perilaku yang dipelajari: bagaimanapun ketika memberikan kemajuan, mereka memiliki pengaruh tambahan / kedua dalam pengetahuan / belajar dari perilaku baru yang terus pengaruhnya pada atensi dan latihan

E.     TEORI KEPRIBADIAN SOSIAL-KOGNITIF PROSES
Bandura (Olson dan Hergenhahn, 2013) mengemukakan bahwa pembentukan perilaku individu dapat terjadi karena adanya proses belajar obervasional, dimana individu mencoba untuk memahami segala sesuatu yang terjadi disekitarnya tanpa harus ikut dalam peristiwa tersebut.
Bandura (Feist, Feist & Robert, 2017) menemukan empat proses yang mengatur pembelajaran melalui observasi, yaitu:
1.      Perhatian
Sebelum kita dapat melakukan modeling terhadap orang lain, kita harus memperhatiakn orang tersebut. Apa faktor-faktor yang mengontrol perhatian? Pertama, karena kita mempunyai kecenderungan untuk mengobservasi seseorang yang sering kita asosiasikan dengan diri kita, kita lebih mungkin untuk memperhatikan orang-orang tersebut. Kedua, model yang atrktif dan menarik lebih mungkin untuk diobservasi dari pada model yang tidak menarik, kita mengobservasi perilaku yang kita rasa penting atau bernilai.
2.      Representasi
Agar sebuah observasi dapat mengarahkan pada pola respon yang baru, pola tersebut harus dapat direpresentasikan secara simbolis di dalam ingatan. Representasi simbolik tidak perlu dalam bentuk verbal, karena beberapa observasi dipertahankan dalam bentuk gambaran dan dapat dimunculkan tanpa adanya model secara fisik. Proses ini penting terutama dalam tahapan bagi bayi, saat kemampuan verbal belum
3.      Produksi Perilaku
Dalam proses mengubah representasi kognitif ke dalam tindakan yang tepat, kita harus bertanya pada diri kita beberapa pertanyaan mengenai perilaku  yang akan ditiru. Pertama kita akan bertanya, “Bagaimana saya dapat melakukan hal ini?” Setelah secara simbolis mengulang respon-respon yang relevan, kita mencoba perilaku tersebut. Selama melakukannya, kita memonitor diri kita dengan pertanyaan “Apa yang sedang saya lakukan?” Terakhir, kita mengevaluasi performa dengan bertanya “Apakah saya melakukan dengan benar?” Pertanyaan terakhir ini tidak selalu mudah untuk dijawab, terutama perilaklakukan yang mengutamakan kemempuan motorik.
4.      Motivasi        
Pembelajaran melalui obsevasi paling efektif terjadi apabila pihak yang belajar termotivasi untuk melakukan perilaku yang ditiru. Perhatian dan representasi dapat berakibat pada pengumpulan informasi untuk belajar, namun performa difasilitasi oleh motivasi untuk melakukan perilaku tertentu. Walaupun observasi dari orang lain mengajari kita bagaimana melakukan sesuatu, kita dapat saja tidak mempunyai hasrat untuk melakukan tindakan tersebut.

F.     RISET TERKAIT
1.      Efikasi Diri dan Terorisme
Hubungan antara self-efficacy dan agama sangat erat dengan ancaman terorisme yang semakin marak. Penelitian yang dilakukan oleh Fischer dkk, mengemukakan bahwa individu yang memiliki religiusitas yang baik akan memiliki efikasi diri yang tinggi dan berdampak pada suasana hati yang lebih tenang dibandingkan individu dengan religiusitas buruk.
Religiusitas bukan satu-satunya cara untuk mengurangi dampak terorisme, tetapi salah satu cara untuk meningkatkan efikasi diri guna mengurangi ancaman terorisme. Bandura (Feist, Feist, & Robert, 2017) telah mendemonstrasikan bahwa semakin kita merasa bahwa kita memiliki kendali dan mampu menangani kejadian yang tidak dapat diprediksikan, semakin berkurang dampak negatif dari ancaman terorisme terhadap kesejahteraan kita.
2.      Efikasi Diri dan Diabetes
Sacco dkk (Feist, Feist & Robert, 2017) melakukan penelitian pengaruh efikasi diri terhadap pengelolaan penyakit kronis. Berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa efikasi diri sangat penting dalam pengelolaan penyakit kronis. Tingkat efikasi yang tinggi berhubungan dengan tingkat depresi yang rendah, dan berkurangnya gejala diabetes serta tingkat keparahannya. 
Sacco dkk juga menegaskan bahwa ketika individu memiliki BMI yang tinggi maka akan berpengaruh pada rendahnya efikasi diri, yang kemudian mengarahkan individu kepada depresi. Oleh karena itu pengendalian penyakit melalui peningkatan efikasi menjadi salah satu upaya untuk dapat mempercepat kesembuhan pasien penyakit kronis.
3.      Teori Kognitif Sosial yang “Mendunia”
Bandura (Feist, Feist & Robert, 2017) melakukan penelitian terkait dengan proses perubahan perilaku dengan memanfaatkan media elektronik. Bekerja sama dengan Population Media Center, Bandura membuat suatu drama seri yang mendorong perilaku perubahan positif bebasis fakta untuk audiens televise dan radio menjadi model dengan pembelajaran observasional. Pembuatan drama ini bertujuan untuk mengurangi pertumbuhan penduduk dengan memperbaiki efikasi terhadap keluarga, penggunaan kontrasepsi, dan mengangkat kedudukan wanita dalam keluarga, sosial serta pendidikan.
G.    KRITIK
Olson & Hergenhahn (2013) menjelaskan lima kritik terhadap teori Bandura:
1.      Perilaku lebih konsisten dari pada yang diklaim oleh teori sosial kognitif
2.      Peristiwa tidak dapat menyebabkan perilaku
3.      Berat sebelah saat memojokkan teori psikoanalitik
4.      Aspek-aspek penting dalam teori kepribadian diabaikan
5.      Teori sosial kognitif tidak sistematik dan menyeluruh

ANALISIS KASUS
1.      KASUS 1
Pengaruh Korean Pop culture dalam kehidupan masyarakat Indonesia disadari atau tidak meliputi segala aspek dari musik dan drama hingga fashion style, hair style, bahkan gaya hidup korea. Tak hanya itu, fenomena hallyu juga telah menyebabkan pecintanya memburu segala hal yang berkaitan erat dengan Korea, hal ini tampak jelas dari semakin meningkatnya masyarakat Indonesia yang mempelajari bahasa Korea dan budaya Korea. Segala hal yang berhubungan dengan artis-artis Korea juga diburu oleh para pecintanya, hal ini terlihat dari banyaknya kegiatan gathering sesama pecinta artis Korea, dan maraknya lomba cover dance dan idol star.
Demam idola dapat dikatan sebagai selebrity worship. Diamana selebrity worship itu sendiri merupakan suatu perbuatan dimana seorang individu sangat menggilai sebuah band atau boyband atau girlband maupun seorang selebriti ( pria atau wanita ) entah itu dikarenakan sang artis sangat tampan atau cantik, sangat kaya atau karena penyebab lain. Fenomena ini dapat membuat remaja menjadi addicted terhadap K-pop, sehingga dapat memicu remaja untuk berprikaku dan berpenampilan sesuai dengan artis idola K-pop mereka. Dalam hal ini, banyak remaja putri menjadikan idola K-POP mejadi panutan mereka untuk dicontoh. Hal ini dapat dilihat dari seseorang yang berprilaku dan berpenampilan sesuai dengan artis idola mereka,
ANALISIS
Kasus ini dapat dikatakan bahwa remaja putri tersebut melakukan proses imitasi. Imitasi merupakan proses sosial atau tindakan seseorang untuk meniru orang lain, baik sikap penampilan, gaya hidupnya, bahkan apa-apa yang dimilikinya. Remaja meniru idola karena tidak percaya diri dengan penampilan mereka apa adanya, sehingga mereka membutuhkan seorang figure yang menurut mereka memiliki penampilan yang ideal. Dalam hal ini dapat kita lihat banyaknya remaja yang sekarang berpenampilan sesuai dengan artis korea, baik dari pakaian, make up hingga perilaku yang ditampilkan itu meniru artis idola mereka.
Bandura (Feist, Feist & Robert, 2017) mengatakan bahwa motivasi merupakan konsep penting dalam imitasi karena motivasi merupakan penggerak individu untuk terus melakukan sesuatu. Dalam proses imitasi ini remaja seakan-akan tidak menunjukkan kepribadian aslinya dan lebih bangga memiliki kepribadian seperti orang lain yang  belum tentu sesuai dengan dirinya. Remaja sebagai tahapan pencarian jati diri perlu diarahkan kepada jati diri pribadi yang sehat, dengan meniru pribadi idola K-POP nya, remaja dihadapkan untuk memilih jati diri semu yang tidak sesuai dengan kepribadian dirinya. Ingat bahwa setiap pribadi itu unik dan berbeda, sehingga imitasi kepribadian bukanlah hal yang baik dalam proses pencarian jati diri. dan oleh karena itu konselor dan orang tua perlu memantau perkembangan anak-anaknya, jika tidak ingin anak/siswa didiknya berkembang kearah kepribadian yang tidak sehat.
2.      KASUS 2
Kita bisa liat tontonan anak jaman sekarang seperti apa? Walaupun banyak film kartun, tetapi anak-anak sekarang lebih senang memilih menonton sinetron remaja yang pemainnya merupakan remaja yang masih unyu-unyu dan kebanyakan personil girl atau boy band sendiri. Dari lagu-lagunya yang disenangi oleh mereka (baca : anak-anak kecil) sampai akhirnya merambat ke sinetron yang dibintangi oleh personil girl band atau boy band tersebut Dan isi dari cerita sinetron-sinetron tersebut, lagi-lagi mengenai cinta, yang didalamnya terselip tentang kesombongan, persaingan, dendam dan segala sifat-sifat yang tidak layak untuk ditonton oleh anak-anak. Karena secara tak langsung itu dapat berpengaruh dalam kehidupan mereka.
Sebagai contoh dalam suatu adegan sinetron : anak yang berasal dari keluarga kaya tidak mau bergaul dengan orang yang berasal dari keluarga  'nggak punya'. Katanya jijiklah, takut ketularan penyakit, ngga levellah dan perkataan-perkataan tak baik lainnya. Belum lagi kalau ada adegan yang suka ngehina 'anak yang tergolong ngga punya', secara ga sadar hal itu bakalan ditiru oleh anak-anak yang menonton sinetron tersebut yang merasa dari keluarga kaya
ANALISIS
Berdasarkan kasus di atas itulah yang dinamakan dengan vicarious learning—yaitu kemampuan untuk memproses gambar dan cerita (dalam buku, foto atau video) seolah-olah sangat nyata kita alami. Di tengah ruang dan waktu yang terguncang akal waras kita benar-benar dipertaruhkan. Dampak negatif vicarious learning dengan melihat sinetron merupakan hal yang lebih dominan diakses oleh anak jaman sekarang. Tidak jarang anak meniru secara berlebihan dan berdampak pada sejumlah risiko negatif. Semakin sering terpapar oleh tayangan negatif, misalnya tontonan sinetron yang menjadi viral—akan membuat perilaku negatif itu dianggap biasa, wajar, dan lumrah. Standar moral menjadi luntur. Empati menurun. Kewaspadaan menjadi longgar. Bahaya—sangat-sangat berbahaya apabila tindak kekerasan dianggap wajar. Virus perilaku negatif itu tanpa disadari telah menetas dalam jiwa.
3.      KASUS 3
Dian Yulia Novi termakan doktrin mengerikan dari paham terorisme. Akibatnya, dia menjadi berani menjadi pengantin bom bunuh diri menyerang negara sendiri. Doktrin macam apa yang bisa menyuci otak Dian dan kawan-kawan sehingga bisa berbuat sekeji itu? Pihak kepolisian mendapat keterangan langsung dari keempat orang yang dicokok, yakni Dian, inisial NS, AS, dan S. "Mereka termotivasi, jadi judulnya Daulah Islamiyah," kata Kabag Mitraropenmas Divhumas Mabes Polri, Kombes Pol Awi Setiyono, dalam jumpa pers di Markas Besar Polri, Jl Trunojoyo, Jakarta Selatan, Minggu (11/12/2016).
Daulah Islamiyah tak lain dan tak bukan adalah ISIS, kelompok teroris dari Suriah yang reputasi kejinya sudah tersiar ke seantero negeri. Doktrin yang digelontorkan mereka ke putra-putri Indonesia itu menyangkut keyakinan soal aksi 'amaliyah'. "Yaitu kalau kalian belum mampu ke Suriah, (maka hendaknya kalian) membuat amaliyah di negeri masing-masing semampunya. Itulah yang memotivasi mereka, dan ini hasil dari proses penyidikan tadi malam, pemeriksaan intensif terhadap pelaku," kata Awi.
ANALISIS
Albert Bandura melalui teori Social Cognitive (Feist, Feist & Robert, 2017) menjelaskan bahwa perilaku merupakan hasil dari faktor lingkungan dan faktor kognitif, Bandura menjelaskan bahwa unsur peringatan dan berperilaku dan stimulus adalah hal penting, tetapi hal itu juga mempertimbangkan proses berfikir terhadap pembelajaran pada manusia. Analisis Bandura terhadap pembelajaran sosial mencakup unsur-unsur utama analisisnya adalah: proses perhatian (attentional process), Proses pengingatan (Retentio Process) proses reproduksi motorik (motor reproducsi proces), dan proses motovasi (motivational process).
Dian sebagai korban doktrin telah ditanamkan bahwa pelaku teror memiliki landasan moral. Teror dinilai sebagai sebuah perbuatan baik bahkan mulia. Namun, jauh sebelum memasuki pandangan itu, pelaku teror mengalami pergulatan nilai (seperti 5 tahapan di alinea sebelumnya). Proses transformasi tersebut tidak sederhana. Teror bom bunuh diri Dian misalnya, adalah potret tentang pergulatan nilai yang sangat rumit. Mereka memilih bom bunuh diri setelah mengalami pergulatan panjang dengan kekerasan dan ketidakadilan. Jadi, perubahan interpretasi tentang aksi teror melibatkan pengalaman dan perspektif. Di sinilah terorisme menemukan kekuatan militansinya.


DAFTAR PUSTAKA
Salkind, Neil J. (2004). An Introduction to Theories of Human Development. Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage Publications. International Education and Publisher
Feist, Jess. 2017. Theories of Personality 8th. Jakarta: Salemba
Olson, M Mathew. 2013. Pengantar Teori-Teori Kepribadian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Mc Leod, John. 2015. Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus. Jakarta: Prenadamedia Group

Jarviss, Matt. 2006. Teori-Teori Psikologi. Bandung: Nusa Media

Nelson, Jones. 2011. Teori dan Praktik Konseling dan Terapi 4th. Yogyakarta: Pustaka pelajar






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Budaya dan Atrubusi

BUDAYA dan ATRIBUSI A.     Definisi Atribusi Mendengar kata atribusi tentunya tidak asing dalam keseharian, namun apakah sebenarnya a...