RESUME
HAMBATAN DALAM
KONSELING MULTIKULTURAL
Proses
konseling adalah proses dimana terjadi pertukaran budaya pada setiap interaksi
antara konselor dan konseli. Nilai efektifitas dari proses konseling adalah
jika saling adanya penerimaan diri, baik secara verbal dan non-verbal antara
konselor dan konseli. Namun hal itu tidak mudah untuk dicapai, perlu adanya
kesukarelaan agar tidak muncul kesalahpahaman, karena hal ini dapat menurunkan
tingkat kepercayaan konseli kepada konselor. Inilah yang mengkhawatirkan!
Membicarakan
mengenai proses konseling tentu tidak lepas dari teori dan teknik konseling,
serta metodologi dan penelitian-penelitian yang mendasari munculnya teori dan
teknik tersebut. Selama yang kita tahu bahwa teori-teori tersebut muncul dari budaya
Barat (psikodinamika, eksistensial-humanistik ataupun pendekatan behavior dan
kognisi) dimana budaya mereka mengedepankan ciri ciri individualistic,
kepercayaan diri, kebebasan, rasional-pragmatis, materialistic dan mekanistik.
Latar belakang inilah yang membentuk prasangka konselor-konselor secara tidak
langsung menyesuaikan dengan teori-teori yang lahir dari budaya Barat, sehingga
jika konselor dihadapkan oleh klien yang berbeda budaya dengan dasar teoritik
konseling, maka konselor akan mudah melakukan prejudice. Oleh karena itu hambatan-hambatan dalam melakukan
konseling multicultural diklasifikasikan oleh Sue &Sue (2008) dalam tiga
hal, yakni:
1)
Culture
Bound Values (nilai-nilai yang terikat budaya):
berpusat pada keterikatan nilai-nilai budaya yang biasanya tercermin dalam
pengekspresian emosi,bentuk komunikasi, aspek keterbukaan/keintiman dengan
orang lain, bentuk pengatribusian, dan faktor kesehatan fisik dan mental.
2)
Class-bound
values (keterikatan nilai kelas ekonomi): lebih
berorientasi pada status kelas ekonomi yang berimbas pada pola pikir dan pola
tindak individu
3)
Language
variables : Penggunaan bahasa inggris terstandart dan
penekanan pada komunikasi verbal
FAKTOR
I
CULTURE-BOUND
VALUES
Budaya terbentuk dari
pola pikir dan pola tindak individu yang termanifestasi sebagai cita-cita,
kepercayaan leluhur, kebiasaan, dan identitas. Dari sekumpulan pikiran dan
tindakan ini akan memunculkan kelompok-kelompok tertentu yang kemudian terbagi
menjadi dua yakni kelompok mayoritas dan minoritas. Suatu budaya akan langgeng jika sebagaian besar mayoritas
menyetujui pola pikir dan pola tindak untuk diaplikasikan dalam kehidupan serta
terus dipelihara secara turun temurun. Namun berbeda dengan kaum minoritas,
meskipun mereka memiliki kekhasan tertentu, namun mereka akan menjadi bagian
masyarakat yang tunduk dengan consensus
kaum mayoritas. Istilah ini sama halnya dengan istilah kaum marjinal yang
dicetuskan pertama kali oleh Stonequist (1973, dalam Sue & Sue 2008).
Disebut kaum marjinal karena individu-individu di dalamnya tidak mampu untuk
menunjukkan identitas mereka serta tertekan dan tunduk pada budaya yang
mendominasi mereka. Kaum ini banyak dihindari dan dipermalukan karena dipandang
menyimpang dan patologis sehingga seakan mereka menjadi emphasis yang tragis.
Berkenaan dengan hal
itu, banyak ilmuwan sosial yang menjadikan psikologi dan terapi sebagai alat
untuk memasukkan nilai-nilai budaya. Selain itu terapis digunakan sebagai agen
sosial yang bertugas untuk mentransmisikan nilai-nilai budaya barat. Bahkan
Kritikus Szasz (1970, dalam Sue & Sue 2008) menyatakan bahwa psikiater dan
terapis seperti budak yang menggunakan terapi sebagai taktik politik,
penyuntikan kepercayaan dan pemodelantingkah laku bagi masyaraka dominan.
Adapun beberapa hal yang menjadi indicator dalam culture-bound values adalah:
a) Pola
Hubungan Antar Manusia
Penekanan
pada pola hubungan individualitas melatar-belakangi sebagain besar bentuk
psikoterapi dan konseling. Kebanyakan negara Barat menganut budaya
idividualitas dimana dengan keindividualitasannya mereka akan bersaing untuk
memperoleh status, pengakuan, prestasi dan sebagainya. Artinya bahwa individulitas
dipandang sebagai bentuk hubungan antar manusia yang sah, sehat dan nrmal.
Namun,
tidak semua budaya sepakat akan hal itu. Pedersen (2002, dalam Sue & Sue
2008) menyatakan bahwa terdapat budaya yang memandang bahwa individual menjadi
hal negative. Inilah yang dinamakan pola hubungan collectivism. Pola hubungan ini mengapresiasi tindakan yang
didasari atas kepentingan bersama hingga keputusan pun diambil secara
bersama-sama. Asia Amerika, Hispanik, dan masyarakat Asia umumnya masih
menggunakan pola hubungan ini karena mereka memiliki filosofi hidup untuk tidak
individualis.
Kontribusi
konselor dalam melihat aspek ini adalah sadar, sadar bahwa aspek ini menjadi
suatu hambatan jika tidak dimengerti. Konselor yang berkaca nilai-nilai budaya
barat akan mengatakan bahwa konslei yang berasal dari budaya non-barat sebagai
konseli yang tidak mandiri, tidak memiliki kuasa penuh atas diri sendiri, dan
kurang bisa mengambil keputusan sendiri (kurang dewasa).
b) Ekspresi
Emosional
Berbeda
budaya akan berbeda pula gaya pengekspresian emosi baik secara verbal maupun
non-verbal. Hal ini terbukti dengan adanya perbedaan gaya pengekspresianantara
budaya barat dengan budaya orang timur. Keterbukaan dalam berekspresi dan lebih
asertif adalah khas dari budaya Western, sedangkan
budaya non-western lebih untuk tidak secara terbuka mengekspresikan setiap
perasaan dan pikirannya. Hal ini dilakukan karena orang non-western
menyimbolkan kematangan emosional dengan tidak mudah menunjukkan kesedihan,
kemarahan, kekecewaan, kesenangan yang berlebihan, dan sebagainya.
Tentu
saja hal ini berbeda dengan masyarakat Western
yang menganggap nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat non-western sebagai bentuk patologis. Inilah yang jelas menjadi
masalah karena proses konseling sejatinya dibentuk untuk menilai ekspresi
baiksecara verbal dan non-verbal. Jika ini tidak konselor tidak paham dengan
nilai-nilai filosofis dari bentuk pengekspresian setiap konselinya, maka tentu
saja akan berimbas pada hubungan yang tidak efektif dan menjadi sebuah
hambatan.
c) Kemampuan
Kognisi dan Rasionalisasi
Keterkaitan
kemampuan berfikir dengan hambatan dalam melakukan konsleing adalah ketika
konselor bertemu dengan konseli yang kurang ingin untuk melakukan proses
panjang selama sesi konseling, dan cenderung lebih meminta hasil secara instan.
Padahal hal ini bertolak belakang dengan teori dan teknik konseling dimana
mengedepankan proses dan kemampuan menganalisis serta merasionalkan
permasalahan.
d) Faktor
Keterbukaan dan Keintiman
Praktik
konseling yang dirasuki oleh budaya barat tentu saja mengharapkan adanya
keterbukaan dari konseli selama proses konseling. Tetapi nyatanya tidak semua
berperilaku demikian, beberapa budaya mengajarkan keterbukaan dalam kondisi
yang berbeda. Masyarakat non-western akan terbuka dengan syarat “sudah dekat”
dalam waktu yang relative lama. Inilah yang menjadi hambatan dalam konseling
ketika konselor tidak peka akan pola ini.
e) Bentuk
Komunikasi
Budaya
membentuk pola komunikasi individu. Perbedaan pola komunikasi menjadi hambatan
pula karena tidak semua budaya mengajarkan pola hubungan yang sama. Jika di
budaya barat tidak ada perbedaan antara orang tua dan anak muda, maka di budaya
non-western menjunjung tinggi sikap menghormati orang yang lebih tua, hingga
tercermin ke dalam proses konsleing dimana mereka tidak akan berbicara jika
tidak bertanya karena menganggap konslor adalah orang yang harus dihormati. Hal
ini menjadi bertkebalikan dengan harapan konseling yang menginginkan saling
memberikan feedback dalam
berkomunikasi.
FAKTOR
II
CLASS-BOUND
VALUES
Status sosial dan kelas
ekonomi menjadi salah satu faktor yang dapat menjadi penghambat dalam
konseling. Hal ini dikarenakan hasil penelitian menyimpulkan adanya indikasi
tingginya tingkat depresi, rendahnya control diri, dan kesehatan yang buruk
pada kelas ekonomi rendah.
Bias-bias semacam ini telah terfragmentasi dengan baik, mereka yang berada pada
kelas ekonomi bawah akan cenderung berada pada pihak yang tertindas dan tidak
mudah bagi mereka untuk berpendapat karena mereka tidak berpendidikan,
disfungsional, dan bahkan berfikiran bahwa dirinya akan menjadi penghambat
dalam kemajuan proses terapi.
Orang kelas ekonomi
bawah juga memandang wawasan dan proses sebagai hal yang tidak sesuai.
Kebanyakan dari mereka cenderung meminta solusi konkret tanpa melewati proses.
Ketika terapis mencaoba untuk mengeksplorasi kepribadian atau masalah
klienuntuk menemukan solusi, klien menjadisering bingung, teralienasi, dan
frustuasi. Lingkungan yang keras dan kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi
menjadi perencanaan jangka panjang yang dibuat oleh terapis menjadi tidak
berarti
FAKTOR
III
PENGGUNAAN
BAHASA
Jelas sekali bahwa
penggunaan standart bahasa Inggris menajdi pembedan bagi mereka yang tidak
dapat atau rendah dalam penggunaan bahasa Inggris. Ketidakadilan ini berimbas
pada layanan kesehatan mental pula. Masyarakat Afrika Asia, Asia Amerika, dan
Hispanik cenderung tidak mudah dalam melafalkan setiap perasaannya dalam bahsa
Inggris standart orang Amerika. Dalam proses konseling, bahasa menjadi hal
pokok yang digunakannya sebagai salah satu penunjang suksesnya proses
konseling. Dengan keadaan minoritas yang dimiliki klien ini, maka tentu saja
ini menjadi hambatan dan terkadangg dapat memunculkan anggapan bahwa klien
tidak kooperatif, dan tidak membantu memperlancar jalannya proses konsleing
ANALISIS
Keragaman budaya adalah
kajian yang terus dilakukan hingga detik ini. Pentingnya memiliki self-awareness terhadap budaya lain
menjadi kunci dan berkali-kali disuarakan oleh berbagai bidang keilmuwan.
Seperti yang telah dijelaskan oleh Duli, Paola dkk (2013) bahwa kesadaran
budaya banyak dibutuhkan untuk berinteraksi di dunia yang multirasial,
multicultural, dan multilingual.
Berkaitan dengan
keragaman budaya dalam sebuah pola interaksi individu, maka dunia psikologi
khususnya pada proses konseling pun ikut andil menyuarakan untuk sadar bahwa di
dunia ini tersusun atas berbagai macam budaya. Sue & Sue (2003) menjelaskan
bahwa konseling multicultural adalah bentuk bantuan yang di dalamnya
berorintesi pada individu baik secara pengalaman hidup, nilai-nilai budayanya,
identitasnya, dan dimensi kelompoknya tanpa adanya diskriminasi.
Namun, hal itu tidaklah
mudah diaplikasikan dan tentunya memiliki hambatan-hambatan. Terdapat tema
besar hambatan yang ditemui ketika berhadapan dengan keragaman budaya, yakni culture-bound values, class-bound values, dan hambatan dalam
bahasa.
A.
CULTURE-BOUND
VALUES
Secara teoritis, keterikatan
nilai budaya (culture-bound values)
menjadi suatu hambatan bagi individu ketika berinteraksi dengan budaya lain.
Sue & Sue (2003) menjelaskan bahwa keterikatan budaya berimplikasi pada
bentuk respon emosional, perilaku, bentuk komunikasi, pola hubungan (intimitas
dan keterbukaan), serta perbedaan pandangan. Jelas sekali bahwa ketika tidak
terangkum dengan benar bagaimana masing-masing budaya memiliki kekhasan, maka
individu akan menggunakan cara pandang, cara berperilaku, cara berkomunikasi
dan cara menyikapi suatau peristiwa atau keadaan hanya dengan niali budaya yang
dia yakini. Inilah yang membahayakan dan tentu saja banyak memicu munculnya
permasalahan terkait dengan bias budaya.
Sangat sulit memang
secara obyektif menilai perilaku, emosi, dan keseluruhan individu dengan tidak
mengikutsertakan nilai-nilai budaya pribadi.
Pengalaman pribadi seringkali menyimbolkan bentuk
bias semcam ini, seperti ketika saya melihat teman saya yang langsung memakan
makanan yang baru saja disajikan oleh tuan rumah, maka saya akan menganggap hal
itu sebagai bentuk ketidaksopanan. Pengalaman tersebut dapat dianalisis bersama
mengapa saya dengan mudahnya memberikan penilaian semacam itu?
Ini dikarenakan pola
didikan keluarga dan norma etika yang telah diajarkan kepada saya sejak kecil
mengatakan hal yang demikian tidaklah sopan. Namun, tentu saja nilai ini
bukanlah nilai secara general karena ada budaya lain yang mengatakan jika tidak
segera memakan, maka itu sebagai bentuk tidak menghormati dan menyepelekan suguhan yang telah diberikan oleh tuan
rumah. Inilah bias budaya, dan jika tidak bisa saling mengerti, tentu saja akan
menimbulkan masalah.
Masalah-masalah yang
muncul dikarenakan bias budaya juga terjadi dalam proses konseling. Jika
diaplikasikan di Indonesia, maka tentu saja banyak terjadi perbedaan antara
teori dan praktik konseling dengan kondisi masyarakat di Indonesia. Salah
satunya yang disebabkan oleh keterikatan nilai budaya. Salah saatu contonnya
adalah kebanyakan konseli di Indonesia masih kurang bisa terbuka dengan
konselor karena masayarakat Indonesia menilai bahwa keterbukaan hanya
diperuntukkan bagi mereka yang telah lama berinteraksi dan secara mendalam
mengetahui sikap dan sifat lawan bicaranya. Inilah yang bertolak belakang
dengan harapan yang ada dalam proses konseling yang mengutamakan keterbukaan di
dalam setiap prosesnya. Gumilang (2015); Pratiwi & Sukma (2013) mendukung
pernyataan ini bahwa keterbukaan diri konseli Indonesia masihlah rendah oleh
karena itu sangat dibutuhkan konselor yang sadar akan budaya seperti ini. Hasil
penelitian Sevic, Kenan dkk (2012) juga menyatakan bahwa sekolah di Turki
mengalami kesulitan membangun keintiman dengan siswa dikarenakan pengaruh
budaya
Apalagi jika dikaitkan
dengan budaya Jawa yang banyak berisi dengan klenik-klenik Jawa. Aturan Jawa ini menjadi filosofi dan pedoman
hidup masyarakatnya. Misalnya dengan adanya permasalahan individu terkait weton.
Banyak pengalaman pribadi terkait dengan keterikatan
budaya ini. Hubungan saya dengan seorang pria kala itu tidak berlanjut ke
jenjang yang lebih seirus dikarenakan keterikatan nilai-nilai budaya weton dan
pandangan suku. Mungkin ketika itu saya belum bisa menerima secara legowo
mengenai alasan yang menurut says tidak logis sehingga secara psikis saya
menderita. Sempat melakukan peer-counseling namun menurut saya tidaklah efektif
karena bagaimanapun orang tua saya kukuh mempertahankan statementnya.
Inilah
yang perlu diketahui oleh konselor yang mendapati konseli dari budaya Jawa,
apakah mereka dan keluarga mereka masih erat memegang nilai-nilai Jawa atau
hanya sebagai pengetahuan belaka. Tidak dapat dipungkiri pula bahwa semakin
tergerusnya jaman, maka pola pikir individu pun akan berubah. Penting pula
sebagai konselor untuk memeprhitungkan dampak globalisasi dalam konteks konseling
multibudaya. Karena pada penelitian Kaygusuz (2012) mengatakan bahwa dampak
globalisasi akan berkontribusi pada konseling multibudaya baik secara ekonomi,
sosial dan budaya.
Dengan latar belakang
Indonesia yang kaya akan keberagaman budayanya, tentu saja menjadi tantangan
tersendiri bagi konselor Indonesia. Pasalnya konselor akan menemui
ikatan-ikatan berbagai macam budaya dalam diri konselinya sehingga konselor
dituntut untuk peka dan memahami kultur konselinya. Hal ini didukung dengan
penelitian yang dilakukan oleh Anghela & Lupub (2013) yang menyatakan bahwa
kompetensi multicultural harus dimiliki oleh pendidik dan konselor agar
tercipta toleransi dan menghilangkan stereotype antar budaya.
B.
CLASS-BOUND
VALUES
Jika Sue & Sue
(2013) menjelaskan bahwa ikatan kelas sosial ini berkaitan dengan tingkat
perekonomian individu, maka Indonesia masuk sebagai negara berkembang yang
sebagain besar penduduknya masih berada pada kelas ekonomi menegah ke bawah.
Tentu saja hal ini dapat menjadi bias dalam konteks multibudaya. Seperti contoh
pengalaman pribadi berikut:
Pernikahan bukanlah berisi dengan kebahagiaan
semata, melainkan juga penderitaan. Mengapa saya mengatakan penderitaan? Karena
saya menjadi anak yang ditinggal oleh orang tua bekerja di Luar Negeri karena
permsalahan ekonomi. Masa kecil saya dihabiskan dengan hanya tinggal bersama
oleh nenek saya tanpa orang tua. Saya jarang punya teman karena di satu sisi
mungkin mereka menjauhi saya atau bisa jadi karena nenek saya begitu protective
kepada saya jika saya bermain kelar rumah. Masa Golden Ages menurut saya tidak
mudah untuk dilewati karena permasalahan ekonomi. Hal ini mau tidak mau
berimbas pada pola pikir, perilaku, dan psikis saya kala itu.
Seperti pada contoh
kasus di atas dapat dilihat bahwa status sosial ekonomi dapat menajdi pemicu
permasalahan dan tentunya jika dikaitkan dengan proses konseling, maka banyak
faktor yang dimunculkan atas permsalahan ekonomi tersebut. Dapat dilihat,
mengapai orang tua saya memilih mengambil jalan pintas dengan konsekuensi
meninggalkan anak meski berat? Karena mereka hanya membutuhkan solusi berupa
materi dengan segera, sedangkan jika proses konseling hanya menunjukkan
cara-cara tanpa memberikan sesegera mungkin maslaah materi, maka banyak
dimungkinkan orang akan memilih untuk tidak melakukan proses konseling.
Hal lain juga dapat
dilihat dari segi tingkat pendidikan yang tentunya akan berimbas pada
pengambilan keputusan, apakah berkonsultasi atau mengambil jalan pintas untuk
mendapatkan solusi? Bias-bias semacam ini terkadang tidak diimengerti oleh
orang lain, karena mereka cencedrung tidak berada pada situasi yang dirasakan
penderita, begitupun bagi konselor. Pernyataan tersebut didukung oleh Baruth
& Manning (2016) bahwa masih banyak tenaga profesional yang kurang paham
atau misunderstand terhadap efek dari
social class dan socio economic. Seperti pernyataan Sue & Sue (2003) bahwa
konselor yang tidak sadar akan aspek class-bound values akan cenderung untuk
memberikan prasangka terhadap konslei yang berasal dari kelas sosial ekonomi
yang rendah, mereka akan berfikir bahwa konslei tidak dapat diajak berfikir dan
cenderung memilih solusi yang berorintesi pada materi dan bukan proses
mendapatkan materi tersbeut tanpa melihat aspek urgenitas kebutuhan konseli.
C.
HAMBATAN
BAHASA
Bahasa
merupakan alat yang digunakan indvidu untuk dapat bertukar informasi secara
verbal. Matsumoto & Juang (2013) juga mengatakan bahwa lewat bahasa maka
individu dapat bertukar sikap, nilai, keyakinan, dan perilaku sehingga tersu
menerus diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Namun, bagaimana
hamabtan yang muncul akibat dari bahasa ini?
Seperti
dikisahkan dari pengalamn pribadi ketika berada di Banyuwangi, situasinya pada
saat itu saya sedang melayani pembeli (ternyata dari suku osing). Awalnya belaiu
menggunakan bahasa jawa, namun ketika melakukan transaksi saya dibuat bingung
manakala mereka menginginkan unutk mengganti kue yang telah dibeli dengan
menggunakan bahasa osing. Saya mematung dan kebingungan menanggapi, kemudian
akhirnya saya mengarahkan untuk menggunakan bahasa Indonesia. Hal yang sama
pula terjadi ketika melayanai pembeli yang berasal dari Madura (kondisinya
pembeli tidak bisa menggunakan bahasa Indonesia), sehingga dibantu oleh anaknya
untuk menerjemahkan kepada saya.
Dari
contoh kasus di atas maka penting untuk dapat mengerti berbagai bahasa atau
penggunaan bahasa pemersatu (baik nasional/internasional) agar tidak terjadi
salah tafsir dan maskud komunikasi tersampaikan. Bagitu pula jika diaplikasikan
dalam proses konseling, jika ditemui hal sedemikian rupa mengenai perbedaan
bahasa, maka proses konseling tentu terkendala. Sejalan dengan hasil penelitian
Kale & Syed (2010) menyebutkan bahwa slaah satu kendala dalam proses
penyembuhan atau konseling berasal dari bahasa.
Kendala
bahasa di Indonesia mungkin menjadi hambatan besar karena yang kita tahu bahwa
Indonesia memiliki banyak bahasa ibu
(bahasa daerah) yang mana terkadang simbolisasi atau kode-kode perasaan dan
pemikiran tidak terakumulasi dalam bahasa nasional ataupun internasional.
Menurut Mtsumoto & Juang (2013) hal ini akan menjadi bias dalam konseling
multikultural jika antara individu, konselor dan konseli, memiliki cara
mengartikan yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Sue, D. W., & Sue,
D. (2003). Counseling the Culturally
Diverse: Theory and Practice (4th ed). New York: Wiley
Anghela, Alina &
Lupub, Ramona Adina. (2013). Multicultural
Counseling in School. Procedia –Social and Behaviour Sciences, 92. 32-35
Baruth, L.G., &
Manning, M.L. (2016). Multicultural
Counseling and Psychotherapy: A Lifespan Approach (6th edition).
New York: Routledge
Duli, Paola,. Messetti,
Giuseppina., & Steinbach, Marilyn. (2013). Skills, Attitudes, Relational Abilities & Reflexivity: Competences
for a Multicultural Society. Procedia- Social and Behavioral Sciences, 112.
538-547
Sevinc, Kenan,. Tasci,
Sibel., Demir, Elif. (2012). Some
Problems of Psychological Counseling and Guidance System in Turkey.
Procedia – Social and Behavioral Sciences, 46. 1056-1063
Gumilang, Galang Surya.
2015. Urgensi Kesadaran Budaya Konselor
Dalam Melaksanakan Layanan Bimbinagn Dan Konseling Untuk Menghadapi Masyarakat
Ekonomi Asean. Jurnal Ilmu Pendidikan, Psikologi, Bimibingan dan Konseling,
Vol 5, No 2
Pratiwi, Srie Wahyuni
& Sukma, Dina. (2013). Komunikasi
Interpersonal Antar Siswa di Sekolah dan Implikasinya Terhadap Pelayanan Bimbingan
dan Konseling. Jurnal Ilmiah Konseling, Vol 2 No 1. 324-329
Kale, Emine & Syed,
Hammd Raza. (2010). Language Barrier and
the Useof Interpreters in the Public Health Services. A questionnaire-Based
Survey. Journal of Patient Education and Counseling, 81. 187-191
Kaygusuz, Canani.
(2012). Psychological Counseling within
the Context of Globalization and Multiculturalism. Procedia-Social and
Behavioral Sciences, 47. 895-902
Matsumoto, David.,
& Jaung, Linda. (2013). Culture and
Psychology (5th edition). Belmonth,CA: Wadsworth Cengange
Learning.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar