Minggu, 08 Juli 2018

Hambatan Dalam Konseling Multikultural


RESUME
HAMBATAN DALAM KONSELING MULTIKULTURAL

Proses konseling adalah proses dimana terjadi pertukaran budaya pada setiap interaksi antara konselor dan konseli. Nilai efektifitas dari proses konseling adalah jika saling adanya penerimaan diri, baik secara verbal dan non-verbal antara konselor dan konseli. Namun hal itu tidak mudah untuk dicapai, perlu adanya kesukarelaan agar tidak muncul kesalahpahaman, karena hal ini dapat menurunkan tingkat kepercayaan konseli kepada konselor. Inilah yang mengkhawatirkan!
Membicarakan mengenai proses konseling tentu tidak lepas dari teori dan teknik konseling, serta metodologi dan penelitian-penelitian yang mendasari munculnya teori dan teknik tersebut. Selama yang kita tahu bahwa teori-teori tersebut muncul dari budaya Barat (psikodinamika, eksistensial-humanistik ataupun pendekatan behavior dan kognisi) dimana budaya mereka mengedepankan ciri ciri individualistic, kepercayaan diri, kebebasan, rasional-pragmatis, materialistic dan mekanistik. Latar belakang inilah yang membentuk prasangka konselor-konselor secara tidak langsung menyesuaikan dengan teori-teori yang lahir dari budaya Barat, sehingga jika konselor dihadapkan oleh klien yang berbeda budaya dengan dasar teoritik konseling, maka konselor akan mudah melakukan prejudice. Oleh karena itu hambatan-hambatan dalam melakukan konseling multicultural diklasifikasikan oleh Sue &Sue (2008) dalam tiga hal, yakni:
1)      Culture Bound Values (nilai-nilai yang terikat budaya): berpusat pada keterikatan nilai-nilai budaya yang biasanya tercermin dalam pengekspresian emosi,bentuk komunikasi, aspek keterbukaan/keintiman dengan orang lain, bentuk pengatribusian, dan faktor kesehatan fisik dan mental.
2)      Class-bound values (keterikatan nilai kelas ekonomi): lebih berorientasi pada status kelas ekonomi yang berimbas pada pola pikir dan pola tindak individu
3)      Language variables : Penggunaan bahasa inggris terstandart dan penekanan pada komunikasi verbal

FAKTOR I
CULTURE-BOUND VALUES
Budaya terbentuk dari pola pikir dan pola tindak individu yang termanifestasi sebagai cita-cita, kepercayaan leluhur, kebiasaan, dan identitas. Dari sekumpulan pikiran dan tindakan ini akan memunculkan kelompok-kelompok tertentu yang kemudian terbagi menjadi dua yakni kelompok mayoritas dan minoritas. Suatu budaya akan langgeng jika sebagaian besar mayoritas menyetujui pola pikir dan pola tindak untuk diaplikasikan dalam kehidupan serta terus dipelihara secara turun temurun. Namun berbeda dengan kaum minoritas, meskipun mereka memiliki kekhasan tertentu, namun mereka akan menjadi bagian masyarakat yang tunduk dengan consensus kaum mayoritas. Istilah ini sama halnya dengan istilah kaum marjinal yang dicetuskan pertama kali oleh Stonequist (1973, dalam Sue & Sue 2008). Disebut kaum marjinal karena individu-individu di dalamnya tidak mampu untuk menunjukkan identitas mereka serta tertekan dan tunduk pada budaya yang mendominasi mereka. Kaum ini banyak dihindari dan dipermalukan karena dipandang menyimpang dan patologis sehingga seakan mereka menjadi emphasis yang tragis.
Berkenaan dengan hal itu, banyak ilmuwan sosial yang menjadikan psikologi dan terapi sebagai alat untuk memasukkan nilai-nilai budaya. Selain itu terapis digunakan sebagai agen sosial yang bertugas untuk mentransmisikan nilai-nilai budaya barat. Bahkan Kritikus Szasz (1970, dalam Sue & Sue 2008) menyatakan bahwa psikiater dan terapis seperti budak yang menggunakan terapi sebagai taktik politik, penyuntikan kepercayaan dan pemodelantingkah laku bagi masyaraka dominan. Adapun beberapa hal yang menjadi indicator dalam culture-bound values adalah:
a)      Pola Hubungan Antar Manusia
Penekanan pada pola hubungan individualitas melatar-belakangi sebagain besar bentuk psikoterapi dan konseling. Kebanyakan negara Barat menganut budaya idividualitas dimana dengan keindividualitasannya mereka akan bersaing untuk memperoleh status, pengakuan, prestasi dan sebagainya. Artinya bahwa individulitas dipandang sebagai bentuk hubungan antar manusia yang sah, sehat dan nrmal.
Namun, tidak semua budaya sepakat akan hal itu. Pedersen (2002, dalam Sue & Sue 2008) menyatakan bahwa terdapat budaya yang memandang bahwa individual menjadi hal negative. Inilah yang dinamakan pola hubungan collectivism. Pola hubungan ini mengapresiasi tindakan yang didasari atas kepentingan bersama hingga keputusan pun diambil secara bersama-sama. Asia Amerika, Hispanik, dan masyarakat Asia umumnya masih menggunakan pola hubungan ini karena mereka memiliki filosofi hidup untuk tidak individualis.
Kontribusi konselor dalam melihat aspek ini adalah sadar, sadar bahwa aspek ini menjadi suatu hambatan jika tidak dimengerti. Konselor yang berkaca nilai-nilai budaya barat akan mengatakan bahwa konslei yang berasal dari budaya non-barat sebagai konseli yang tidak mandiri, tidak memiliki kuasa penuh atas diri sendiri, dan kurang bisa mengambil keputusan sendiri (kurang dewasa).
b)      Ekspresi Emosional
Berbeda budaya akan berbeda pula gaya pengekspresian emosi baik secara verbal maupun non-verbal. Hal ini terbukti dengan adanya perbedaan gaya pengekspresianantara budaya barat dengan budaya orang timur. Keterbukaan dalam berekspresi dan lebih asertif adalah khas dari budaya Western, sedangkan budaya non-western lebih untuk tidak secara terbuka mengekspresikan setiap perasaan dan pikirannya. Hal ini dilakukan karena orang non-western menyimbolkan kematangan emosional dengan tidak mudah menunjukkan kesedihan, kemarahan, kekecewaan, kesenangan yang berlebihan, dan sebagainya.
Tentu saja hal ini berbeda dengan masyarakat Western yang menganggap nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat non-western sebagai bentuk patologis. Inilah yang jelas menjadi masalah karena proses konseling sejatinya dibentuk untuk menilai ekspresi baiksecara verbal dan non-verbal. Jika ini tidak konselor tidak paham dengan nilai-nilai filosofis dari bentuk pengekspresian setiap konselinya, maka tentu saja akan berimbas pada hubungan yang tidak efektif dan menjadi sebuah hambatan.
c)      Kemampuan Kognisi dan Rasionalisasi
Keterkaitan kemampuan berfikir dengan hambatan dalam melakukan konsleing adalah ketika konselor bertemu dengan konseli yang kurang ingin untuk melakukan proses panjang selama sesi konseling, dan cenderung lebih meminta hasil secara instan. Padahal hal ini bertolak belakang dengan teori dan teknik konseling dimana mengedepankan proses dan kemampuan menganalisis serta merasionalkan permasalahan.
d)     Faktor Keterbukaan dan Keintiman
Praktik konseling yang dirasuki oleh budaya barat tentu saja mengharapkan adanya keterbukaan dari konseli selama proses konseling. Tetapi nyatanya tidak semua berperilaku demikian, beberapa budaya mengajarkan keterbukaan dalam kondisi yang berbeda. Masyarakat non-western akan terbuka dengan syarat “sudah dekat” dalam waktu yang relative lama. Inilah yang menjadi hambatan dalam konseling ketika konselor tidak peka akan pola ini.
e)      Bentuk Komunikasi
Budaya membentuk pola komunikasi individu. Perbedaan pola komunikasi menjadi hambatan pula karena tidak semua budaya mengajarkan pola hubungan yang sama. Jika di budaya barat tidak ada perbedaan antara orang tua dan anak muda, maka di budaya non-western menjunjung tinggi sikap menghormati orang yang lebih tua, hingga tercermin ke dalam proses konsleing dimana mereka tidak akan berbicara jika tidak bertanya karena menganggap konslor adalah orang yang harus dihormati. Hal ini menjadi bertkebalikan dengan harapan konseling yang menginginkan saling memberikan feedback dalam berkomunikasi.

FAKTOR II
CLASS-BOUND VALUES 
Status sosial dan kelas ekonomi menjadi salah satu faktor yang dapat menjadi penghambat dalam konseling. Hal ini dikarenakan hasil penelitian menyimpulkan adanya indikasi tingginya tingkat depresi, rendahnya control diri, dan kesehatan yang buruk pada kelas ekonomi rendah. Bias-bias semacam ini telah terfragmentasi dengan baik, mereka yang berada pada kelas ekonomi bawah akan cenderung berada pada pihak yang tertindas dan tidak mudah bagi mereka untuk berpendapat karena mereka tidak berpendidikan, disfungsional, dan bahkan berfikiran bahwa dirinya akan menjadi penghambat dalam kemajuan proses terapi.
Orang kelas ekonomi bawah juga memandang wawasan dan proses sebagai hal yang tidak sesuai. Kebanyakan dari mereka cenderung meminta solusi konkret tanpa melewati proses. Ketika terapis mencaoba untuk mengeksplorasi kepribadian atau masalah klienuntuk menemukan solusi, klien menjadisering bingung, teralienasi, dan frustuasi. Lingkungan yang keras dan kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi menjadi perencanaan jangka panjang yang dibuat oleh terapis menjadi tidak berarti

FAKTOR III
PENGGUNAAN BAHASA
Jelas sekali bahwa penggunaan standart bahasa Inggris menajdi pembedan bagi mereka yang tidak dapat atau rendah dalam penggunaan bahasa Inggris. Ketidakadilan ini berimbas pada layanan kesehatan mental pula. Masyarakat Afrika Asia, Asia Amerika, dan Hispanik cenderung tidak mudah dalam melafalkan setiap perasaannya dalam bahsa Inggris standart orang Amerika. Dalam proses konseling, bahasa menjadi hal pokok yang digunakannya sebagai salah satu penunjang suksesnya proses konseling. Dengan keadaan minoritas yang dimiliki klien ini, maka tentu saja ini menjadi hambatan dan terkadangg dapat memunculkan anggapan bahwa klien tidak kooperatif, dan tidak membantu memperlancar jalannya proses konsleing
ANALISIS
Keragaman budaya adalah kajian yang terus dilakukan hingga detik ini. Pentingnya memiliki self-awareness terhadap budaya lain menjadi kunci dan berkali-kali disuarakan oleh berbagai bidang keilmuwan. Seperti yang telah dijelaskan oleh Duli, Paola dkk (2013) bahwa kesadaran budaya banyak dibutuhkan untuk berinteraksi di dunia yang multirasial, multicultural, dan multilingual.
Berkaitan dengan keragaman budaya dalam sebuah pola interaksi individu, maka dunia psikologi khususnya pada proses konseling pun ikut andil menyuarakan untuk sadar bahwa di dunia ini tersusun atas berbagai macam budaya. Sue & Sue (2003) menjelaskan bahwa konseling multicultural adalah bentuk bantuan yang di dalamnya berorintesi pada individu baik secara pengalaman hidup, nilai-nilai budayanya, identitasnya, dan dimensi kelompoknya tanpa adanya diskriminasi.
Namun, hal itu tidaklah mudah diaplikasikan dan tentunya memiliki hambatan-hambatan. Terdapat tema besar hambatan yang ditemui ketika berhadapan dengan keragaman budaya, yakni culture-bound values, class-bound values, dan hambatan dalam bahasa.
A.    CULTURE-BOUND VALUES
Secara teoritis, keterikatan nilai budaya (culture-bound values) menjadi suatu hambatan bagi individu ketika berinteraksi dengan budaya lain. Sue & Sue (2003) menjelaskan bahwa keterikatan budaya berimplikasi pada bentuk respon emosional, perilaku, bentuk komunikasi, pola hubungan (intimitas dan keterbukaan), serta perbedaan pandangan. Jelas sekali bahwa ketika tidak terangkum dengan benar bagaimana masing-masing budaya memiliki kekhasan, maka individu akan menggunakan cara pandang, cara berperilaku, cara berkomunikasi dan cara menyikapi suatau peristiwa atau keadaan hanya dengan niali budaya yang dia yakini. Inilah yang membahayakan dan tentu saja banyak memicu munculnya permasalahan terkait dengan bias budaya.
Sangat sulit memang secara obyektif menilai perilaku, emosi, dan keseluruhan individu dengan tidak mengikutsertakan nilai-nilai budaya pribadi.
Pengalaman pribadi seringkali menyimbolkan bentuk bias semcam ini, seperti ketika saya melihat teman saya yang langsung memakan makanan yang baru saja disajikan oleh tuan rumah, maka saya akan menganggap hal itu sebagai bentuk ketidaksopanan. Pengalaman tersebut dapat dianalisis bersama mengapa saya dengan mudahnya memberikan penilaian semacam itu?
Ini dikarenakan pola didikan keluarga dan norma etika yang telah diajarkan kepada saya sejak kecil mengatakan hal yang demikian tidaklah sopan. Namun, tentu saja nilai ini bukanlah nilai secara general karena ada budaya lain yang mengatakan jika tidak segera memakan, maka itu sebagai bentuk tidak menghormati dan menyepelekan suguhan yang telah diberikan oleh tuan rumah. Inilah bias budaya, dan jika tidak bisa saling mengerti, tentu saja akan menimbulkan masalah.
Masalah-masalah yang muncul dikarenakan bias budaya juga terjadi dalam proses konseling. Jika diaplikasikan di Indonesia, maka tentu saja banyak terjadi perbedaan antara teori dan praktik konseling dengan kondisi masyarakat di Indonesia. Salah satunya yang disebabkan oleh keterikatan nilai budaya. Salah saatu contonnya adalah kebanyakan konseli di Indonesia masih kurang bisa terbuka dengan konselor karena masayarakat Indonesia menilai bahwa keterbukaan hanya diperuntukkan bagi mereka yang telah lama berinteraksi dan secara mendalam mengetahui sikap dan sifat lawan bicaranya. Inilah yang bertolak belakang dengan harapan yang ada dalam proses konseling yang mengutamakan keterbukaan di dalam setiap prosesnya. Gumilang (2015); Pratiwi & Sukma (2013) mendukung pernyataan ini bahwa keterbukaan diri konseli Indonesia masihlah rendah oleh karena itu sangat dibutuhkan konselor yang sadar akan budaya seperti ini. Hasil penelitian Sevic, Kenan dkk (2012) juga menyatakan bahwa sekolah di Turki mengalami kesulitan membangun keintiman dengan siswa dikarenakan pengaruh budaya
Apalagi jika dikaitkan dengan budaya Jawa yang banyak berisi dengan klenik-klenik Jawa. Aturan Jawa ini menjadi filosofi dan pedoman hidup masyarakatnya. Misalnya dengan adanya permasalahan individu terkait weton.
Banyak pengalaman pribadi terkait dengan keterikatan budaya ini. Hubungan saya dengan seorang pria kala itu tidak berlanjut ke jenjang yang lebih seirus dikarenakan keterikatan nilai-nilai budaya weton dan pandangan suku. Mungkin ketika itu saya belum bisa menerima secara legowo mengenai alasan yang menurut says tidak logis sehingga secara psikis saya menderita. Sempat melakukan peer-counseling namun menurut saya tidaklah efektif karena bagaimanapun orang tua saya kukuh mempertahankan statementnya.
Inilah yang perlu diketahui oleh konselor yang mendapati konseli dari budaya Jawa, apakah mereka dan keluarga mereka masih erat memegang nilai-nilai Jawa atau hanya sebagai pengetahuan belaka. Tidak dapat dipungkiri pula bahwa semakin tergerusnya jaman, maka pola pikir individu pun akan berubah. Penting pula sebagai konselor untuk memeprhitungkan dampak globalisasi dalam konteks konseling multibudaya. Karena pada penelitian Kaygusuz (2012) mengatakan bahwa dampak globalisasi akan berkontribusi pada konseling multibudaya baik secara ekonomi, sosial dan budaya.
Dengan latar belakang Indonesia yang kaya akan keberagaman budayanya, tentu saja menjadi tantangan tersendiri bagi konselor Indonesia. Pasalnya konselor akan menemui ikatan-ikatan berbagai macam budaya dalam diri konselinya sehingga konselor dituntut untuk peka dan memahami kultur konselinya. Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Anghela & Lupub (2013) yang menyatakan bahwa kompetensi multicultural harus dimiliki oleh pendidik dan konselor agar tercipta toleransi dan menghilangkan stereotype antar budaya.
B.     CLASS-BOUND VALUES
Jika Sue & Sue (2013) menjelaskan bahwa ikatan kelas sosial ini berkaitan dengan tingkat perekonomian individu, maka Indonesia masuk sebagai negara berkembang yang sebagain besar penduduknya masih berada pada kelas ekonomi menegah ke bawah. Tentu saja hal ini dapat menjadi bias dalam konteks multibudaya. Seperti contoh pengalaman pribadi berikut:
Pernikahan bukanlah berisi dengan kebahagiaan semata, melainkan juga penderitaan. Mengapa saya mengatakan penderitaan? Karena saya menjadi anak yang ditinggal oleh orang tua bekerja di Luar Negeri karena permsalahan ekonomi. Masa kecil saya dihabiskan dengan hanya tinggal bersama oleh nenek saya tanpa orang tua. Saya jarang punya teman karena di satu sisi mungkin mereka menjauhi saya atau bisa jadi karena nenek saya begitu protective kepada saya jika saya bermain kelar rumah. Masa Golden Ages menurut saya tidak mudah untuk dilewati karena permasalahan ekonomi. Hal ini mau tidak mau berimbas pada pola pikir, perilaku, dan psikis saya kala itu.
Seperti pada contoh kasus di atas dapat dilihat bahwa status sosial ekonomi dapat menajdi pemicu permasalahan dan tentunya jika dikaitkan dengan proses konseling, maka banyak faktor yang dimunculkan atas permsalahan ekonomi tersebut. Dapat dilihat, mengapai orang tua saya memilih mengambil jalan pintas dengan konsekuensi meninggalkan anak meski berat? Karena mereka hanya membutuhkan solusi berupa materi dengan segera, sedangkan jika proses konseling hanya menunjukkan cara-cara tanpa memberikan sesegera mungkin maslaah materi, maka banyak dimungkinkan orang akan memilih untuk tidak melakukan proses konseling.
Hal lain juga dapat dilihat dari segi tingkat pendidikan yang tentunya akan berimbas pada pengambilan keputusan, apakah berkonsultasi atau mengambil jalan pintas untuk mendapatkan solusi? Bias-bias semacam ini terkadang tidak diimengerti oleh orang lain, karena mereka cencedrung tidak berada pada situasi yang dirasakan penderita, begitupun bagi konselor. Pernyataan tersebut didukung oleh Baruth & Manning (2016) bahwa masih banyak tenaga profesional yang kurang paham atau misunderstand terhadap efek dari social class dan socio economic. Seperti pernyataan Sue & Sue (2003) bahwa konselor yang tidak sadar akan aspek class-bound values akan cenderung untuk memberikan prasangka terhadap konslei yang berasal dari kelas sosial ekonomi yang rendah, mereka akan berfikir bahwa konslei tidak dapat diajak berfikir dan cenderung memilih solusi yang berorintesi pada materi dan bukan proses mendapatkan materi tersbeut tanpa melihat aspek urgenitas kebutuhan konseli.

C.    HAMBATAN BAHASA
Bahasa merupakan alat yang digunakan indvidu untuk dapat bertukar informasi secara verbal. Matsumoto & Juang (2013) juga mengatakan bahwa lewat bahasa maka individu dapat bertukar sikap, nilai, keyakinan, dan perilaku sehingga tersu menerus diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Namun, bagaimana hamabtan yang muncul akibat dari bahasa ini?
Seperti dikisahkan dari pengalamn pribadi ketika berada di Banyuwangi, situasinya pada saat itu saya sedang melayani pembeli (ternyata dari suku osing). Awalnya belaiu menggunakan bahasa jawa, namun ketika melakukan transaksi saya dibuat bingung manakala mereka menginginkan unutk mengganti kue yang telah dibeli dengan menggunakan bahasa osing. Saya mematung dan kebingungan menanggapi, kemudian akhirnya saya mengarahkan untuk menggunakan bahasa Indonesia. Hal yang sama pula terjadi ketika melayanai pembeli yang berasal dari Madura (kondisinya pembeli tidak bisa menggunakan bahasa Indonesia), sehingga dibantu oleh anaknya untuk menerjemahkan kepada saya.

Dari contoh kasus di atas maka penting untuk dapat mengerti berbagai bahasa atau penggunaan bahasa pemersatu (baik nasional/internasional) agar tidak terjadi salah tafsir dan maskud komunikasi tersampaikan. Bagitu pula jika diaplikasikan dalam proses konseling, jika ditemui hal sedemikian rupa mengenai perbedaan bahasa, maka proses konseling tentu terkendala. Sejalan dengan hasil penelitian Kale & Syed (2010) menyebutkan bahwa slaah satu kendala dalam proses penyembuhan atau konseling berasal dari bahasa.
Kendala bahasa di Indonesia mungkin menjadi hambatan besar karena yang kita tahu bahwa Indonesia memiliki banyak bahasa ibu (bahasa daerah) yang mana terkadang simbolisasi atau kode-kode perasaan dan pemikiran tidak terakumulasi dalam bahasa nasional ataupun internasional. Menurut Mtsumoto & Juang (2013) hal ini akan menjadi bias dalam konseling multikultural jika antara individu, konselor dan konseli, memiliki cara mengartikan yang berbeda.







DAFTAR PUSTAKA
Sue, D. W., & Sue, D. (2003). Counseling the Culturally Diverse: Theory and Practice (4th ed). New York: Wiley
Anghela, Alina & Lupub, Ramona Adina. (2013). Multicultural Counseling in School. Procedia –Social and Behaviour Sciences, 92. 32-35
Baruth, L.G., & Manning, M.L. (2016). Multicultural Counseling and Psychotherapy: A Lifespan Approach (6th edition). New York: Routledge
Duli, Paola,. Messetti, Giuseppina., & Steinbach, Marilyn. (2013). Skills, Attitudes, Relational Abilities & Reflexivity: Competences for a Multicultural Society. Procedia- Social and Behavioral Sciences, 112. 538-547
Sevinc, Kenan,. Tasci, Sibel., Demir, Elif. (2012). Some Problems of Psychological Counseling and Guidance System in Turkey. Procedia – Social and Behavioral Sciences, 46. 1056-1063
Gumilang, Galang Surya. 2015. Urgensi Kesadaran Budaya Konselor Dalam Melaksanakan Layanan Bimbinagn Dan Konseling Untuk Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean. Jurnal Ilmu Pendidikan, Psikologi, Bimibingan dan Konseling, Vol 5, No 2
Pratiwi, Srie Wahyuni & Sukma, Dina. (2013). Komunikasi Interpersonal Antar Siswa di Sekolah dan Implikasinya Terhadap Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jurnal Ilmiah Konseling, Vol 2 No 1. 324-329
Kale, Emine & Syed, Hammd Raza. (2010). Language Barrier and the Useof Interpreters in the Public Health Services. A questionnaire-Based Survey. Journal of Patient Education and Counseling, 81. 187-191
Kaygusuz, Canani. (2012). Psychological Counseling within the Context of Globalization and Multiculturalism. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 47. 895-902
Matsumoto, David., & Jaung, Linda. (2013). Culture and Psychology (5th edition). Belmonth,CA: Wadsworth Cengange Learning.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Budaya dan Atrubusi

BUDAYA dan ATRIBUSI A.     Definisi Atribusi Mendengar kata atribusi tentunya tidak asing dalam keseharian, namun apakah sebenarnya a...