PENGALAMAN SHOCK
CULTURE
Oleh : Ajeng
Intan Nur R
Tanpa kita sadari kita
semua pernah mengalami pengalaman yang berkaitan dengan budaya, apalagi yang
menyangkut gegar budaya (shock culture),
termasuk saya. Sebelum saya menceritakan pengelaman saya mengenai shock culture, saya akan memperkenalkan
siapa saya terlebih dahulu. Saya anak pertama dari tiga bersaudara dan menjadi
panutan adik-adik saya, InsyaAllah.
Saya berasal dari kota kecil biasanya disebut kota santri. Ya, kota Jombang
namanya. Namun Tuhan menggariskan hidup saya lain karena ketika lulus SMA saya
diboyong orang tua saya ke Surabaya. Saya ingat betapa masa kecil saya ketika
mendengar kata Surabaya, maka angan-angan saya menggambarkan kota yang sangat
besar, mewah dan modern, berbeda dengan Jombang. Namun, ketika saya sudah mulai
menginjakkan kaki dan menetap di Surabaya sekitar tahun 2012, saya merasakan
ada yang berbeda. Jelasnya, perihal cuaca yang panas, hiruk pikuk yang selalu standby 24 jam dan pola komunikasi
penduduknya.
Berhubung tempat
tinggal saya di daerah yang padat penduduknya, daerah pusat kota, maka
keramaian tidak dapat dielakkan. Saya masih ingat ketika itu saya tidak dapat
memejamkan mata dikarenakan warung dekat rumah saya terus memutar music 24
non-stop. Parahnya, tidak hanya saya bahkan bapak, ibu dan adik-adik saya pun
mengalami hal yang sama. Inilah mungkin yang dinamakan shock culture terkait dengan lingkungan yang berbeda.
Waktu terus berjalan
dan saya pun lebih bisa beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Ada beberapa
pengalaman terkait culture-bound values
selama saya hidup hingga sekarang. Pertama mengenai kata-kata cok, bagi saya yang berasal dari desa
kota Jombang menganggap hal itu merupakan dosa besar dan hanya diucapkan oleh
orang-orang yang urakan. Namun, yang
saya temui di kota ini berbeda, hampir di setiap tempat, sekolah, warung, jalan
mendengar kata tersebut. Pada saat itu saya masih memandang negatif perihal
kata cok sehingga ketika ada
perkuliahan mengenai konseling lintas budaya dan mengulas budaya Surabaya, saya
mengerti bahwa itu termasuk aksen bahasa budaya Surabaya. Sehingga saat ini
saya terbiasa dan saya telah melakukan enkulturasi
budaya.
Pengalaman kedua adalah
mengenai pola pergaulan. Menurut saya, seorang perempuan yang pulang melebihi
jam 9, dengan tanpa orang tua maka itu menyalahi norma. Namun di Surabaya
tidak, banyak muda-mudi yang keluar di atas jam 9 dan bahkan hingga dini hari.
Dengan kondisi kota yang demikian, keluarga terutama bapak sangat mewanti-wanti untuk tidak mengikuti budaya
yang demikian, karena menurutnya hal itu tidak baik.
Masih dalam konteks
lingkungan yang smaa, yakni Surabaya. Tidak dapat dipungkiri bahwa kota
Surabaya sebagain besar penduduknya dikuasai oleh orang Madura, dan mau tidak
mau saya juga banyak berinteraksi dengan mereka. Pernah suatu ketika saya
menghadapi seorang pembeli yang berasal dari Madura, karena kebetulan orang tua saya membuka bisnis bakery. Beliau menggunakan bahasa
Madura dalam berkomunikasi sehingga saya mengalami kebingungan ketika melayani,
hingga datanglah si anaknya yang membantu mengkomunikasikan kepada saya. Inilah
hambatan ketika seseorang tidak paham dengan bahasa budaya lain, menjadi
terhambat dalam interaksi di lingkup sosial.
Pengalaman selanjutnya
adalah mengenai weton. Berhubung
bapak saya adalah orang jawa yang njawani
(patuh dengan budaya orang Jawa), maka seringkali dalam melakukan sesuatu selalu
dihubungkan dengan weton dan dino apik
(hari baik). Saya yang telah tergerus dengan globalisasi dan ilmu pendidikan
lebih rasional dalam berfikir, sedangkan bapak saya masih menggunakan pandangan
orang Jawa. Pernah suatu ketika saya gagal berhubungan dengan seseorang hingga
ke jenjang yang lebih serius lantaran masalah weton. Lucu memang, namun nyatanya masih ada.
Pengalaman-pengalaman
saya di atas membuktikan bahwa culture-bound
values masih lekat dalam kehidupan sehari-hari. Keterikatan budaya ini
menjadi suatu kepercayaan individu dalam menjalani kehidupannya sehingga
terkadang memunculkan bias-bias atau prasangka yang tidak jelas terkait dengan
budaya daerah lain.
Seperti contoh di desa
saya dulu, di Jombang semua penduduknya tidak ada yang berasal dari Madura.
Hingga suatu ketika ada pengemis yang berasal dari Madura dan modelnya memaksa,
tetangga saya memunculkan kata-kata yang masih jelas saya ingat “dasar wong meduro, pengaweane ya mung ngunu
kuwi” (dasar orang Madura, kerjaannya ya cuma seperti itu). Sangat jelas
sekali bahwa disana ada nilai-nilai budaya yang mendasari seseorang itu
langsung memberikan prasangka terhadap orang Madura, baik dibentuk oleh
pengalaman pribadi atau hanya sekedar mendengar perkataan orang lain sehingga
menggeneralisasikannya.
Tidak sampai disitu,
ketika waktu telah beranjak menuntun langkah kaki hingga menuju kota Lumpia,
yakni Kota Semarang, di sini saya juga sempat mengalami shock culture. Sebenarnya secara budaya dan letak geografis
tidaklah jauh berbeda dengan keadaan di Jawa Timur, hanya saja di Semarang
kontur wilayahnya adalah pegunungan dan menurut saya kota Semarang adalah kota
yang suram, entah itu pencahayaannya atau memang perasaan saya. Bisa jadi saya
mengatakan demikian karena masih membandingkan dan membaya suasana Surabaya ke
Semarang. Percaya atau tidak, sejak awal saya berada di Semarang, selama dua
minggu itu pula saya baru bisa memejamkan mata ketika waktu subuh atau sekitar
jam 04.00 WIB tiba. Entah mengapa, mungkin saya butuh beradaptasi dengan
kesunyian kota Semarang ini sehingga memunculkan bias-bias ketakutan
tersendiri.
Memasuki masa
perkuliahan, saya berada di kelas yang ragam budaya. Teman saya berasal dari
berbagai macam suku dan daerah, sehingga masa-masa semester satu dipenuhi
dengan prasangka-prasangka budaya dan pengadaptasian. Dinamika kelas makin
terasa sangat dinamis karena hampir semua dari kita masih belum bisa terlepas
dari keterikatan budaya masing-masing daerah, sehingga memunculkan kasak-kusuk. Namun seiring berjalannya
waktu bias tersebut semakin memudar dan masing-masing dari kita memahami bduaya
teman yang lain. Demikian pengalaman pribadi saya terkait dengan culture-bound
values. Semoga pengalaman saya menjadi bagian yang dapat diambil hikmahnya
sehingga kesadaran akan budaya lebih dapat terinternalisasi dalam kepribadian
kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar