Minggu, 08 Juli 2018

PENGALAMAN SHOCK CULTURE


PENGALAMAN SHOCK CULTURE
Oleh    : Ajeng Intan Nur R

       Tanpa kita sadari kita semua pernah mengalami pengalaman yang berkaitan dengan budaya, apalagi yang menyangkut gegar budaya (shock culture), termasuk saya. Sebelum saya menceritakan pengelaman saya mengenai shock culture, saya akan memperkenalkan siapa saya terlebih dahulu. Saya anak pertama dari tiga bersaudara dan menjadi panutan adik-adik saya, InsyaAllah. Saya berasal dari kota kecil biasanya disebut kota santri. Ya, kota Jombang namanya. Namun Tuhan menggariskan hidup saya lain karena ketika lulus SMA saya diboyong orang tua saya ke Surabaya. Saya ingat betapa masa kecil saya ketika mendengar kata Surabaya, maka angan-angan saya menggambarkan kota yang sangat besar, mewah dan modern, berbeda dengan Jombang. Namun, ketika saya sudah mulai menginjakkan kaki dan menetap di Surabaya sekitar tahun 2012, saya merasakan ada yang berbeda. Jelasnya, perihal cuaca yang panas, hiruk pikuk yang selalu standby 24 jam dan pola komunikasi penduduknya.
     Berhubung tempat tinggal saya di daerah yang padat penduduknya, daerah pusat kota, maka keramaian tidak dapat dielakkan. Saya masih ingat ketika itu saya tidak dapat memejamkan mata dikarenakan warung dekat rumah saya terus memutar music 24 non-stop. Parahnya, tidak hanya saya bahkan bapak, ibu dan adik-adik saya pun mengalami hal yang sama. Inilah mungkin yang dinamakan shock culture terkait dengan lingkungan yang berbeda.
      Waktu terus berjalan dan saya pun lebih bisa beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Ada beberapa pengalaman terkait culture-bound values selama saya hidup hingga sekarang. Pertama mengenai kata-kata cok, bagi saya yang berasal dari desa kota Jombang menganggap hal itu merupakan dosa besar dan hanya diucapkan oleh orang-orang yang urakan. Namun, yang saya temui di kota ini berbeda, hampir di setiap tempat, sekolah, warung, jalan mendengar kata tersebut. Pada saat itu saya masih memandang negatif perihal kata cok sehingga ketika ada perkuliahan mengenai konseling lintas budaya dan mengulas budaya Surabaya, saya mengerti bahwa itu termasuk aksen bahasa budaya Surabaya. Sehingga saat ini saya terbiasa dan saya telah melakukan enkulturasi budaya.
      Pengalaman kedua adalah mengenai pola pergaulan. Menurut saya, seorang perempuan yang pulang melebihi jam 9, dengan tanpa orang tua maka itu menyalahi norma. Namun di Surabaya tidak, banyak muda-mudi yang keluar di atas jam 9 dan bahkan hingga dini hari. Dengan kondisi kota yang demikian, keluarga terutama bapak sangat mewanti-wanti untuk tidak mengikuti budaya yang demikian, karena menurutnya hal itu tidak baik.
        Masih dalam konteks lingkungan yang smaa, yakni Surabaya. Tidak dapat dipungkiri bahwa kota Surabaya sebagain besar penduduknya dikuasai oleh orang Madura, dan mau tidak mau saya juga banyak berinteraksi dengan mereka. Pernah suatu ketika saya menghadapi seorang pembeli yang berasal dari Madura, karena kebetulan orang tua saya membuka bisnis bakery. Beliau menggunakan bahasa Madura dalam berkomunikasi sehingga saya mengalami kebingungan ketika melayani, hingga datanglah si anaknya yang membantu mengkomunikasikan kepada saya. Inilah hambatan ketika seseorang tidak paham dengan bahasa budaya lain, menjadi terhambat dalam interaksi di lingkup sosial.
       Pengalaman selanjutnya adalah mengenai weton. Berhubung bapak saya adalah orang jawa yang njawani (patuh dengan budaya orang Jawa), maka seringkali dalam melakukan sesuatu selalu dihubungkan dengan weton dan dino apik (hari baik). Saya yang telah tergerus dengan globalisasi dan ilmu pendidikan lebih rasional dalam berfikir, sedangkan bapak saya masih menggunakan pandangan orang Jawa. Pernah suatu ketika saya gagal berhubungan dengan seseorang hingga ke jenjang yang lebih serius lantaran masalah weton. Lucu memang, namun nyatanya masih ada.
     Pengalaman-pengalaman saya di atas membuktikan bahwa culture-bound values masih lekat dalam kehidupan sehari-hari. Keterikatan budaya ini menjadi suatu kepercayaan individu dalam menjalani kehidupannya sehingga terkadang memunculkan bias-bias atau prasangka yang tidak jelas terkait dengan budaya daerah lain.
      Seperti contoh di desa saya dulu, di Jombang semua penduduknya tidak ada yang berasal dari Madura. Hingga suatu ketika ada pengemis yang berasal dari Madura dan modelnya memaksa, tetangga saya memunculkan kata-kata yang masih jelas saya ingat “dasar wong meduro, pengaweane ya mung ngunu kuwi” (dasar orang Madura, kerjaannya ya cuma seperti itu). Sangat jelas sekali bahwa disana ada nilai-nilai budaya yang mendasari seseorang itu langsung memberikan prasangka terhadap orang Madura, baik dibentuk oleh pengalaman pribadi atau hanya sekedar mendengar perkataan orang lain sehingga menggeneralisasikannya.
    Tidak sampai disitu, ketika waktu telah beranjak menuntun langkah kaki hingga menuju kota Lumpia, yakni Kota Semarang, di sini saya juga sempat mengalami shock culture. Sebenarnya secara budaya dan letak geografis tidaklah jauh berbeda dengan keadaan di Jawa Timur, hanya saja di Semarang kontur wilayahnya adalah pegunungan dan menurut saya kota Semarang adalah kota yang suram, entah itu pencahayaannya atau memang perasaan saya. Bisa jadi saya mengatakan demikian karena masih membandingkan dan membaya suasana Surabaya ke Semarang. Percaya atau tidak, sejak awal saya berada di Semarang, selama dua minggu itu pula saya baru bisa memejamkan mata ketika waktu subuh atau sekitar jam 04.00 WIB tiba. Entah mengapa, mungkin saya butuh beradaptasi dengan kesunyian kota Semarang ini sehingga memunculkan bias-bias ketakutan tersendiri.
      Memasuki masa perkuliahan, saya berada di kelas yang ragam budaya. Teman saya berasal dari berbagai macam suku dan daerah, sehingga masa-masa semester satu dipenuhi dengan prasangka-prasangka budaya dan pengadaptasian. Dinamika kelas makin terasa sangat dinamis karena hampir semua dari kita masih belum bisa terlepas dari keterikatan budaya masing-masing daerah, sehingga memunculkan kasak-kusuk. Namun seiring berjalannya waktu bias tersebut semakin memudar dan masing-masing dari kita memahami bduaya teman yang lain. Demikian pengalaman pribadi saya terkait dengan culture-bound values. Semoga pengalaman saya menjadi bagian yang dapat diambil hikmahnya sehingga kesadaran akan budaya lebih dapat terinternalisasi dalam kepribadian kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Budaya dan Atrubusi

BUDAYA dan ATRIBUSI A.     Definisi Atribusi Mendengar kata atribusi tentunya tidak asing dalam keseharian, namun apakah sebenarnya a...