Minggu, 08 Juli 2018

Budaya dan Atrubusi

BUDAYA dan ATRIBUSI
A.    Definisi Atribusi
Mendengar kata atribusi tentunya tidak asing dalam keseharian, namun apakah sebenarnya atribusi itu, dan berasal darimanakah? Atribusi adalah kesimpulan yang dihasilkan oleh individu mengenai penyebab dalam suatu kejadian tertentu. Atribusi juga mewakili individu memahami kehidupan dan perilaku individu lain. Sebagai contoh seringkali seseorang menghubungkan keberhasilan ataupun kegagalan dengan kerja keras atau hanya sebatas keberuntungan. Inilah yang dinamakan atribusi yang seringkali disematkan oleh individu dalam setiap peristiwa.
Selaras dengan pembahasan pada bab I yang mengatakan bahwa kemampuan kognisi individu memungkinkan mereka untuk menciptakan budaya, ternyata menurut Matsumoto (2013) kemampuan kognisi juga dapat mempengaruhi gaya pengatribusian seseorang. Atribusi-atribusi yang diciptakan oleh individu memberikan gambaran dalam memperjelas kejadian dan membuat sense pada peristiwa atau kejadian tersebut. Hal lainnya bahwa pengatribusian ini menjadi keunikan kemampuan kognisi individu untuk mengerti tentang dirinya dan orang lain bahwa mereka adalah agen kesengajaan atau intentional agents. Apa itu intentional agents? Penyebab adanya sebutan agen kesengajaan atau intentional agent menurut Matsumoto (2013) adalah niat atau kehendak dalam setiap perbuatannya. Artinya bahwa setiap individu memiliki kebutuhan-kebutuhan, motivasi-motivasi, hasrat/keinginan-keinginan, serta tujuan-tujuan yang terkadang menjadi kendali atas perbuatan dan perilaku mereka. Jadi kognisi dan budaya berkaitan erat dengan gaya pengatribusian seseorang, bahkan semua budaya memiliki bentuk pengatribusian masing-masing. Kenyataannya segala peristiwa dan perilaku seseorang tentu dibumbui dengan bentuk atribusi baik dari dirinya sendiri maupun dari orang lain.
Sebenarnya, pengatribusian ini telah menjadi kajian hangat dalam sejarah perkembangan psikologi. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, atribusi dibagi menjadi dua bentuk gaya yakni internal attributions (dispositional attributions) yang menghubungkan antara keberhasilan dan kegagalan dengan faktor internal seperti kepribadian, usaha, dan niat dalam diri sendiri, sedangkan gaya pengatribusian yang lain adalah external attributions (situational dispositions) yang seringkali mengkaitkan kegagalan dan keberhasilan dengan faktor situasional atau outside of person seperti kesalahan orang lain, faktor alam, dan bahkan campur tangan Tuhan.

B.     Perbedaan Budaya dalam Gaya Atribusi
Atribusi adalah hasil dari pikiran dan budaya sehingga terkadang bukanlah hasil kenyataan secara obyektif, karena atribusi adalah hasil subyektifitas pikiran yang banyak tersusun atas bias-bias. Salah satu bias tersebut biasanya disebut fundamental attribution error atau bisa disebut correspondence bias yang mengacu pada kesimpulan bias (Matsumoto, 2013). Hal ini ter-replikasi pada banyak penelitian di Amerika. Peneliti multibudaya melakukan sosial eksperimen terhadap orang Amerika dengan orang India yang beragama Hindu. Keduanya dihadapkan pada suatu kejadian dimana mereka diharuskan untuk memberikan persepsi dan penilaian pada peristiwa tersebut, alhasil didapatkan sebuah perbedaan sudut pandang yang berkontibusi pada gaya pengatribusian yakni jika orang Amerika lebih melihat peristiwa tertentu dari sudut pandang pelakunya misalnya “perempuan itu sangat tidak bertanggung jawab”, sedangkan orang India menjelaskan bahwa peristiwa tersebut dapat dilihat dari berbagai faktor misalnya tanggung jawab individu, pola lingkungan sekitarnya, dan situasi-situasi lain yang bereknaan dengan peristiwa tersebut.
Perbedaan keduanya jelas menunjukkan bahwa budaya dan pola pikir inidvidu menentukan bagaimana gaya mereka dalam menciptakan penyebab terjadinya suatu peristiwa. Adapun jenis bias atribusi yang lain adalah self-serving bias, yakni menciptakan internal attribution (faktor personal) pada kesuksesannya dan faktor situasional pada kegagalannya. Misalkan individu mengalami kegagalan, maka dirinya akan menguhubungkannya dengan penyebab-penyebab situasional seperti materi test yang kurang bagus, pengajaran yang tidak sesuai, gangguan-gangguan, atau situasi rumah yang tidak mendukung. Sedangkan kesuksesan akan dihubungkan dengan kemampuan, usaha dan kerja keras mereka.
Peran budaya lah yang menjadikan perbedaan ini, tentu saja hal ini terkadang memberikan perbedaan bentuk tanggung jawab. Kaitannya dengan hal ini adalah mengenai budaya orang Amerika yang cenderung individual dan orang Asia yang kolektiv. Penelitian yang terangkum dalam Matsumoto (2013) menjelaskan bahwa pola budaya yang demikian sangat menentukan bagaimana individu merespon segala peristiwa lalu menghubungkannya pada faktor internal atau memilih faktor eksternal sebagai penyebab peristiwa tersebut. Orang Asia juga mengikutsertakan faktor keberuntungan, kekayaan keluarga, etnis, dan jenis kelamin sebagai atribusi mereka.
Namun tidak semua gaya atribusi merupakan hasil dari atribusi bias karena terdapat bentuk atribusi lain yang mengkaitkan mengenai sejauh mana individu percaya pada pandangan atau kepercayaan tradisional yang bersifat consensus budaya.

C.     Universalitas dan Spesifikasi Budaya dalam Gaya Atribusi
Meskipun perbedaan budaya menjadi penentu gaya pengatribusian individu, namun satu pertanyaan yang penting bahwa sejauh mana kedua mempengaruhi gaya atribusi individu?
Perbedaan budaya banyak menjelaskan sejauh mana gaya astribusi individu seperti orang Amerika banyak melakukan attribution error daripada orang Asia. Choi, Nisbett dan Norenzayan (1999, dalam Matsumoto 2013) membuktikannya dengan mengajak orang Amerika dan orang Asia memberikan penyikapan dan penilaian pada sekelompok individu yang telah dikondisikan sebelumnya (kelompok pertama tidak disertai dengan informasi kepribadian, dan kelompok kedua disertai informasi kepribadian). Hasilnya adalah ketika orang Asia menjelaskan penyebab pada sekelompok individu tanpa informasi kepribadian mereka, orang Asia lebih banyak memberikan penyebab situasional daripada orang Amerika, namun ketika sekelompok individu diserta dengan informasi kepribadian, maka orang Amerika dan orang Asia cenderung tidak ada perbedaan yang signifikan dalam menciptakan atribusi.
Hasil meta analisis dari Mezulis, Abramson, Hyde dan Hankin (2004, dalam Matsumoto & Juang 2013) memberikan gambaran bahwa sebagaian besar populasi melakukan self-serving bias, tidak ada ukuran perbedaan pada budaya karena baik orang Amerika dan Asia sama-sama melakukannya, meskipun orang Asia lebih banyak memunculkan atribusi eksternal karena dipengaruhi budaya kolektivisme dan hal ini tidaklah menjadi pembeda yang signifikan. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa gaya atribusi sebagaian besar sama secara universal. Temuan baru dari Norenzayan & Lee (2010, dalam Matsumoto & Juang, 2013) menjelaskan adanya faktor agama dan dialektika yang dapat mempengaruhi gaya atribusi.
Dengan demikian correspondence bias dan self-serving bias menjadi faktor universal mengingat telah dibahas di awal bahwa individu merupakan intentional agents. Sedangkan budaya menjadi aspek atribusi bias dengan perannya dalam menjaga citra diri. Jelas saja bahwa semua budaya memiliki aspek universal untuk mempertahankan citra diri serta melindungi intregitas mereka dan atribusi inilah yang menjadi cara mereka mencapai tujuan itu. Masing-masing budaya mengajarkan individu dalam menentukan atribusi dan ini relative. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa budaya dapat menghasilkan gaya atribusi secara spesifik.

Hambatan Dalam Konseling Multikultural


RESUME
HAMBATAN DALAM KONSELING MULTIKULTURAL

Proses konseling adalah proses dimana terjadi pertukaran budaya pada setiap interaksi antara konselor dan konseli. Nilai efektifitas dari proses konseling adalah jika saling adanya penerimaan diri, baik secara verbal dan non-verbal antara konselor dan konseli. Namun hal itu tidak mudah untuk dicapai, perlu adanya kesukarelaan agar tidak muncul kesalahpahaman, karena hal ini dapat menurunkan tingkat kepercayaan konseli kepada konselor. Inilah yang mengkhawatirkan!
Membicarakan mengenai proses konseling tentu tidak lepas dari teori dan teknik konseling, serta metodologi dan penelitian-penelitian yang mendasari munculnya teori dan teknik tersebut. Selama yang kita tahu bahwa teori-teori tersebut muncul dari budaya Barat (psikodinamika, eksistensial-humanistik ataupun pendekatan behavior dan kognisi) dimana budaya mereka mengedepankan ciri ciri individualistic, kepercayaan diri, kebebasan, rasional-pragmatis, materialistic dan mekanistik. Latar belakang inilah yang membentuk prasangka konselor-konselor secara tidak langsung menyesuaikan dengan teori-teori yang lahir dari budaya Barat, sehingga jika konselor dihadapkan oleh klien yang berbeda budaya dengan dasar teoritik konseling, maka konselor akan mudah melakukan prejudice. Oleh karena itu hambatan-hambatan dalam melakukan konseling multicultural diklasifikasikan oleh Sue &Sue (2008) dalam tiga hal, yakni:
1)      Culture Bound Values (nilai-nilai yang terikat budaya): berpusat pada keterikatan nilai-nilai budaya yang biasanya tercermin dalam pengekspresian emosi,bentuk komunikasi, aspek keterbukaan/keintiman dengan orang lain, bentuk pengatribusian, dan faktor kesehatan fisik dan mental.
2)      Class-bound values (keterikatan nilai kelas ekonomi): lebih berorientasi pada status kelas ekonomi yang berimbas pada pola pikir dan pola tindak individu
3)      Language variables : Penggunaan bahasa inggris terstandart dan penekanan pada komunikasi verbal

FAKTOR I
CULTURE-BOUND VALUES
Budaya terbentuk dari pola pikir dan pola tindak individu yang termanifestasi sebagai cita-cita, kepercayaan leluhur, kebiasaan, dan identitas. Dari sekumpulan pikiran dan tindakan ini akan memunculkan kelompok-kelompok tertentu yang kemudian terbagi menjadi dua yakni kelompok mayoritas dan minoritas. Suatu budaya akan langgeng jika sebagaian besar mayoritas menyetujui pola pikir dan pola tindak untuk diaplikasikan dalam kehidupan serta terus dipelihara secara turun temurun. Namun berbeda dengan kaum minoritas, meskipun mereka memiliki kekhasan tertentu, namun mereka akan menjadi bagian masyarakat yang tunduk dengan consensus kaum mayoritas. Istilah ini sama halnya dengan istilah kaum marjinal yang dicetuskan pertama kali oleh Stonequist (1973, dalam Sue & Sue 2008). Disebut kaum marjinal karena individu-individu di dalamnya tidak mampu untuk menunjukkan identitas mereka serta tertekan dan tunduk pada budaya yang mendominasi mereka. Kaum ini banyak dihindari dan dipermalukan karena dipandang menyimpang dan patologis sehingga seakan mereka menjadi emphasis yang tragis.
Berkenaan dengan hal itu, banyak ilmuwan sosial yang menjadikan psikologi dan terapi sebagai alat untuk memasukkan nilai-nilai budaya. Selain itu terapis digunakan sebagai agen sosial yang bertugas untuk mentransmisikan nilai-nilai budaya barat. Bahkan Kritikus Szasz (1970, dalam Sue & Sue 2008) menyatakan bahwa psikiater dan terapis seperti budak yang menggunakan terapi sebagai taktik politik, penyuntikan kepercayaan dan pemodelantingkah laku bagi masyaraka dominan. Adapun beberapa hal yang menjadi indicator dalam culture-bound values adalah:
a)      Pola Hubungan Antar Manusia
Penekanan pada pola hubungan individualitas melatar-belakangi sebagain besar bentuk psikoterapi dan konseling. Kebanyakan negara Barat menganut budaya idividualitas dimana dengan keindividualitasannya mereka akan bersaing untuk memperoleh status, pengakuan, prestasi dan sebagainya. Artinya bahwa individulitas dipandang sebagai bentuk hubungan antar manusia yang sah, sehat dan nrmal.
Namun, tidak semua budaya sepakat akan hal itu. Pedersen (2002, dalam Sue & Sue 2008) menyatakan bahwa terdapat budaya yang memandang bahwa individual menjadi hal negative. Inilah yang dinamakan pola hubungan collectivism. Pola hubungan ini mengapresiasi tindakan yang didasari atas kepentingan bersama hingga keputusan pun diambil secara bersama-sama. Asia Amerika, Hispanik, dan masyarakat Asia umumnya masih menggunakan pola hubungan ini karena mereka memiliki filosofi hidup untuk tidak individualis.
Kontribusi konselor dalam melihat aspek ini adalah sadar, sadar bahwa aspek ini menjadi suatu hambatan jika tidak dimengerti. Konselor yang berkaca nilai-nilai budaya barat akan mengatakan bahwa konslei yang berasal dari budaya non-barat sebagai konseli yang tidak mandiri, tidak memiliki kuasa penuh atas diri sendiri, dan kurang bisa mengambil keputusan sendiri (kurang dewasa).
b)      Ekspresi Emosional
Berbeda budaya akan berbeda pula gaya pengekspresian emosi baik secara verbal maupun non-verbal. Hal ini terbukti dengan adanya perbedaan gaya pengekspresianantara budaya barat dengan budaya orang timur. Keterbukaan dalam berekspresi dan lebih asertif adalah khas dari budaya Western, sedangkan budaya non-western lebih untuk tidak secara terbuka mengekspresikan setiap perasaan dan pikirannya. Hal ini dilakukan karena orang non-western menyimbolkan kematangan emosional dengan tidak mudah menunjukkan kesedihan, kemarahan, kekecewaan, kesenangan yang berlebihan, dan sebagainya.
Tentu saja hal ini berbeda dengan masyarakat Western yang menganggap nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat non-western sebagai bentuk patologis. Inilah yang jelas menjadi masalah karena proses konseling sejatinya dibentuk untuk menilai ekspresi baiksecara verbal dan non-verbal. Jika ini tidak konselor tidak paham dengan nilai-nilai filosofis dari bentuk pengekspresian setiap konselinya, maka tentu saja akan berimbas pada hubungan yang tidak efektif dan menjadi sebuah hambatan.
c)      Kemampuan Kognisi dan Rasionalisasi
Keterkaitan kemampuan berfikir dengan hambatan dalam melakukan konsleing adalah ketika konselor bertemu dengan konseli yang kurang ingin untuk melakukan proses panjang selama sesi konseling, dan cenderung lebih meminta hasil secara instan. Padahal hal ini bertolak belakang dengan teori dan teknik konseling dimana mengedepankan proses dan kemampuan menganalisis serta merasionalkan permasalahan.
d)     Faktor Keterbukaan dan Keintiman
Praktik konseling yang dirasuki oleh budaya barat tentu saja mengharapkan adanya keterbukaan dari konseli selama proses konseling. Tetapi nyatanya tidak semua berperilaku demikian, beberapa budaya mengajarkan keterbukaan dalam kondisi yang berbeda. Masyarakat non-western akan terbuka dengan syarat “sudah dekat” dalam waktu yang relative lama. Inilah yang menjadi hambatan dalam konseling ketika konselor tidak peka akan pola ini.
e)      Bentuk Komunikasi
Budaya membentuk pola komunikasi individu. Perbedaan pola komunikasi menjadi hambatan pula karena tidak semua budaya mengajarkan pola hubungan yang sama. Jika di budaya barat tidak ada perbedaan antara orang tua dan anak muda, maka di budaya non-western menjunjung tinggi sikap menghormati orang yang lebih tua, hingga tercermin ke dalam proses konsleing dimana mereka tidak akan berbicara jika tidak bertanya karena menganggap konslor adalah orang yang harus dihormati. Hal ini menjadi bertkebalikan dengan harapan konseling yang menginginkan saling memberikan feedback dalam berkomunikasi.

FAKTOR II
CLASS-BOUND VALUES 
Status sosial dan kelas ekonomi menjadi salah satu faktor yang dapat menjadi penghambat dalam konseling. Hal ini dikarenakan hasil penelitian menyimpulkan adanya indikasi tingginya tingkat depresi, rendahnya control diri, dan kesehatan yang buruk pada kelas ekonomi rendah. Bias-bias semacam ini telah terfragmentasi dengan baik, mereka yang berada pada kelas ekonomi bawah akan cenderung berada pada pihak yang tertindas dan tidak mudah bagi mereka untuk berpendapat karena mereka tidak berpendidikan, disfungsional, dan bahkan berfikiran bahwa dirinya akan menjadi penghambat dalam kemajuan proses terapi.
Orang kelas ekonomi bawah juga memandang wawasan dan proses sebagai hal yang tidak sesuai. Kebanyakan dari mereka cenderung meminta solusi konkret tanpa melewati proses. Ketika terapis mencaoba untuk mengeksplorasi kepribadian atau masalah klienuntuk menemukan solusi, klien menjadisering bingung, teralienasi, dan frustuasi. Lingkungan yang keras dan kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi menjadi perencanaan jangka panjang yang dibuat oleh terapis menjadi tidak berarti

FAKTOR III
PENGGUNAAN BAHASA
Jelas sekali bahwa penggunaan standart bahasa Inggris menajdi pembedan bagi mereka yang tidak dapat atau rendah dalam penggunaan bahasa Inggris. Ketidakadilan ini berimbas pada layanan kesehatan mental pula. Masyarakat Afrika Asia, Asia Amerika, dan Hispanik cenderung tidak mudah dalam melafalkan setiap perasaannya dalam bahsa Inggris standart orang Amerika. Dalam proses konseling, bahasa menjadi hal pokok yang digunakannya sebagai salah satu penunjang suksesnya proses konseling. Dengan keadaan minoritas yang dimiliki klien ini, maka tentu saja ini menjadi hambatan dan terkadangg dapat memunculkan anggapan bahwa klien tidak kooperatif, dan tidak membantu memperlancar jalannya proses konsleing
ANALISIS
Keragaman budaya adalah kajian yang terus dilakukan hingga detik ini. Pentingnya memiliki self-awareness terhadap budaya lain menjadi kunci dan berkali-kali disuarakan oleh berbagai bidang keilmuwan. Seperti yang telah dijelaskan oleh Duli, Paola dkk (2013) bahwa kesadaran budaya banyak dibutuhkan untuk berinteraksi di dunia yang multirasial, multicultural, dan multilingual.
Berkaitan dengan keragaman budaya dalam sebuah pola interaksi individu, maka dunia psikologi khususnya pada proses konseling pun ikut andil menyuarakan untuk sadar bahwa di dunia ini tersusun atas berbagai macam budaya. Sue & Sue (2003) menjelaskan bahwa konseling multicultural adalah bentuk bantuan yang di dalamnya berorintesi pada individu baik secara pengalaman hidup, nilai-nilai budayanya, identitasnya, dan dimensi kelompoknya tanpa adanya diskriminasi.
Namun, hal itu tidaklah mudah diaplikasikan dan tentunya memiliki hambatan-hambatan. Terdapat tema besar hambatan yang ditemui ketika berhadapan dengan keragaman budaya, yakni culture-bound values, class-bound values, dan hambatan dalam bahasa.
A.    CULTURE-BOUND VALUES
Secara teoritis, keterikatan nilai budaya (culture-bound values) menjadi suatu hambatan bagi individu ketika berinteraksi dengan budaya lain. Sue & Sue (2003) menjelaskan bahwa keterikatan budaya berimplikasi pada bentuk respon emosional, perilaku, bentuk komunikasi, pola hubungan (intimitas dan keterbukaan), serta perbedaan pandangan. Jelas sekali bahwa ketika tidak terangkum dengan benar bagaimana masing-masing budaya memiliki kekhasan, maka individu akan menggunakan cara pandang, cara berperilaku, cara berkomunikasi dan cara menyikapi suatau peristiwa atau keadaan hanya dengan niali budaya yang dia yakini. Inilah yang membahayakan dan tentu saja banyak memicu munculnya permasalahan terkait dengan bias budaya.
Sangat sulit memang secara obyektif menilai perilaku, emosi, dan keseluruhan individu dengan tidak mengikutsertakan nilai-nilai budaya pribadi.
Pengalaman pribadi seringkali menyimbolkan bentuk bias semcam ini, seperti ketika saya melihat teman saya yang langsung memakan makanan yang baru saja disajikan oleh tuan rumah, maka saya akan menganggap hal itu sebagai bentuk ketidaksopanan. Pengalaman tersebut dapat dianalisis bersama mengapa saya dengan mudahnya memberikan penilaian semacam itu?
Ini dikarenakan pola didikan keluarga dan norma etika yang telah diajarkan kepada saya sejak kecil mengatakan hal yang demikian tidaklah sopan. Namun, tentu saja nilai ini bukanlah nilai secara general karena ada budaya lain yang mengatakan jika tidak segera memakan, maka itu sebagai bentuk tidak menghormati dan menyepelekan suguhan yang telah diberikan oleh tuan rumah. Inilah bias budaya, dan jika tidak bisa saling mengerti, tentu saja akan menimbulkan masalah.
Masalah-masalah yang muncul dikarenakan bias budaya juga terjadi dalam proses konseling. Jika diaplikasikan di Indonesia, maka tentu saja banyak terjadi perbedaan antara teori dan praktik konseling dengan kondisi masyarakat di Indonesia. Salah satunya yang disebabkan oleh keterikatan nilai budaya. Salah saatu contonnya adalah kebanyakan konseli di Indonesia masih kurang bisa terbuka dengan konselor karena masayarakat Indonesia menilai bahwa keterbukaan hanya diperuntukkan bagi mereka yang telah lama berinteraksi dan secara mendalam mengetahui sikap dan sifat lawan bicaranya. Inilah yang bertolak belakang dengan harapan yang ada dalam proses konseling yang mengutamakan keterbukaan di dalam setiap prosesnya. Gumilang (2015); Pratiwi & Sukma (2013) mendukung pernyataan ini bahwa keterbukaan diri konseli Indonesia masihlah rendah oleh karena itu sangat dibutuhkan konselor yang sadar akan budaya seperti ini. Hasil penelitian Sevic, Kenan dkk (2012) juga menyatakan bahwa sekolah di Turki mengalami kesulitan membangun keintiman dengan siswa dikarenakan pengaruh budaya
Apalagi jika dikaitkan dengan budaya Jawa yang banyak berisi dengan klenik-klenik Jawa. Aturan Jawa ini menjadi filosofi dan pedoman hidup masyarakatnya. Misalnya dengan adanya permasalahan individu terkait weton.
Banyak pengalaman pribadi terkait dengan keterikatan budaya ini. Hubungan saya dengan seorang pria kala itu tidak berlanjut ke jenjang yang lebih seirus dikarenakan keterikatan nilai-nilai budaya weton dan pandangan suku. Mungkin ketika itu saya belum bisa menerima secara legowo mengenai alasan yang menurut says tidak logis sehingga secara psikis saya menderita. Sempat melakukan peer-counseling namun menurut saya tidaklah efektif karena bagaimanapun orang tua saya kukuh mempertahankan statementnya.
Inilah yang perlu diketahui oleh konselor yang mendapati konseli dari budaya Jawa, apakah mereka dan keluarga mereka masih erat memegang nilai-nilai Jawa atau hanya sebagai pengetahuan belaka. Tidak dapat dipungkiri pula bahwa semakin tergerusnya jaman, maka pola pikir individu pun akan berubah. Penting pula sebagai konselor untuk memeprhitungkan dampak globalisasi dalam konteks konseling multibudaya. Karena pada penelitian Kaygusuz (2012) mengatakan bahwa dampak globalisasi akan berkontribusi pada konseling multibudaya baik secara ekonomi, sosial dan budaya.
Dengan latar belakang Indonesia yang kaya akan keberagaman budayanya, tentu saja menjadi tantangan tersendiri bagi konselor Indonesia. Pasalnya konselor akan menemui ikatan-ikatan berbagai macam budaya dalam diri konselinya sehingga konselor dituntut untuk peka dan memahami kultur konselinya. Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Anghela & Lupub (2013) yang menyatakan bahwa kompetensi multicultural harus dimiliki oleh pendidik dan konselor agar tercipta toleransi dan menghilangkan stereotype antar budaya.
B.     CLASS-BOUND VALUES
Jika Sue & Sue (2013) menjelaskan bahwa ikatan kelas sosial ini berkaitan dengan tingkat perekonomian individu, maka Indonesia masuk sebagai negara berkembang yang sebagain besar penduduknya masih berada pada kelas ekonomi menegah ke bawah. Tentu saja hal ini dapat menjadi bias dalam konteks multibudaya. Seperti contoh pengalaman pribadi berikut:
Pernikahan bukanlah berisi dengan kebahagiaan semata, melainkan juga penderitaan. Mengapa saya mengatakan penderitaan? Karena saya menjadi anak yang ditinggal oleh orang tua bekerja di Luar Negeri karena permsalahan ekonomi. Masa kecil saya dihabiskan dengan hanya tinggal bersama oleh nenek saya tanpa orang tua. Saya jarang punya teman karena di satu sisi mungkin mereka menjauhi saya atau bisa jadi karena nenek saya begitu protective kepada saya jika saya bermain kelar rumah. Masa Golden Ages menurut saya tidak mudah untuk dilewati karena permasalahan ekonomi. Hal ini mau tidak mau berimbas pada pola pikir, perilaku, dan psikis saya kala itu.
Seperti pada contoh kasus di atas dapat dilihat bahwa status sosial ekonomi dapat menajdi pemicu permasalahan dan tentunya jika dikaitkan dengan proses konseling, maka banyak faktor yang dimunculkan atas permsalahan ekonomi tersebut. Dapat dilihat, mengapai orang tua saya memilih mengambil jalan pintas dengan konsekuensi meninggalkan anak meski berat? Karena mereka hanya membutuhkan solusi berupa materi dengan segera, sedangkan jika proses konseling hanya menunjukkan cara-cara tanpa memberikan sesegera mungkin maslaah materi, maka banyak dimungkinkan orang akan memilih untuk tidak melakukan proses konseling.
Hal lain juga dapat dilihat dari segi tingkat pendidikan yang tentunya akan berimbas pada pengambilan keputusan, apakah berkonsultasi atau mengambil jalan pintas untuk mendapatkan solusi? Bias-bias semacam ini terkadang tidak diimengerti oleh orang lain, karena mereka cencedrung tidak berada pada situasi yang dirasakan penderita, begitupun bagi konselor. Pernyataan tersebut didukung oleh Baruth & Manning (2016) bahwa masih banyak tenaga profesional yang kurang paham atau misunderstand terhadap efek dari social class dan socio economic. Seperti pernyataan Sue & Sue (2003) bahwa konselor yang tidak sadar akan aspek class-bound values akan cenderung untuk memberikan prasangka terhadap konslei yang berasal dari kelas sosial ekonomi yang rendah, mereka akan berfikir bahwa konslei tidak dapat diajak berfikir dan cenderung memilih solusi yang berorintesi pada materi dan bukan proses mendapatkan materi tersbeut tanpa melihat aspek urgenitas kebutuhan konseli.

C.    HAMBATAN BAHASA
Bahasa merupakan alat yang digunakan indvidu untuk dapat bertukar informasi secara verbal. Matsumoto & Juang (2013) juga mengatakan bahwa lewat bahasa maka individu dapat bertukar sikap, nilai, keyakinan, dan perilaku sehingga tersu menerus diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Namun, bagaimana hamabtan yang muncul akibat dari bahasa ini?
Seperti dikisahkan dari pengalamn pribadi ketika berada di Banyuwangi, situasinya pada saat itu saya sedang melayani pembeli (ternyata dari suku osing). Awalnya belaiu menggunakan bahasa jawa, namun ketika melakukan transaksi saya dibuat bingung manakala mereka menginginkan unutk mengganti kue yang telah dibeli dengan menggunakan bahasa osing. Saya mematung dan kebingungan menanggapi, kemudian akhirnya saya mengarahkan untuk menggunakan bahasa Indonesia. Hal yang sama pula terjadi ketika melayanai pembeli yang berasal dari Madura (kondisinya pembeli tidak bisa menggunakan bahasa Indonesia), sehingga dibantu oleh anaknya untuk menerjemahkan kepada saya.

Dari contoh kasus di atas maka penting untuk dapat mengerti berbagai bahasa atau penggunaan bahasa pemersatu (baik nasional/internasional) agar tidak terjadi salah tafsir dan maskud komunikasi tersampaikan. Bagitu pula jika diaplikasikan dalam proses konseling, jika ditemui hal sedemikian rupa mengenai perbedaan bahasa, maka proses konseling tentu terkendala. Sejalan dengan hasil penelitian Kale & Syed (2010) menyebutkan bahwa slaah satu kendala dalam proses penyembuhan atau konseling berasal dari bahasa.
Kendala bahasa di Indonesia mungkin menjadi hambatan besar karena yang kita tahu bahwa Indonesia memiliki banyak bahasa ibu (bahasa daerah) yang mana terkadang simbolisasi atau kode-kode perasaan dan pemikiran tidak terakumulasi dalam bahasa nasional ataupun internasional. Menurut Mtsumoto & Juang (2013) hal ini akan menjadi bias dalam konseling multikultural jika antara individu, konselor dan konseli, memiliki cara mengartikan yang berbeda.







DAFTAR PUSTAKA
Sue, D. W., & Sue, D. (2003). Counseling the Culturally Diverse: Theory and Practice (4th ed). New York: Wiley
Anghela, Alina & Lupub, Ramona Adina. (2013). Multicultural Counseling in School. Procedia –Social and Behaviour Sciences, 92. 32-35
Baruth, L.G., & Manning, M.L. (2016). Multicultural Counseling and Psychotherapy: A Lifespan Approach (6th edition). New York: Routledge
Duli, Paola,. Messetti, Giuseppina., & Steinbach, Marilyn. (2013). Skills, Attitudes, Relational Abilities & Reflexivity: Competences for a Multicultural Society. Procedia- Social and Behavioral Sciences, 112. 538-547
Sevinc, Kenan,. Tasci, Sibel., Demir, Elif. (2012). Some Problems of Psychological Counseling and Guidance System in Turkey. Procedia – Social and Behavioral Sciences, 46. 1056-1063
Gumilang, Galang Surya. 2015. Urgensi Kesadaran Budaya Konselor Dalam Melaksanakan Layanan Bimbinagn Dan Konseling Untuk Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean. Jurnal Ilmu Pendidikan, Psikologi, Bimibingan dan Konseling, Vol 5, No 2
Pratiwi, Srie Wahyuni & Sukma, Dina. (2013). Komunikasi Interpersonal Antar Siswa di Sekolah dan Implikasinya Terhadap Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jurnal Ilmiah Konseling, Vol 2 No 1. 324-329
Kale, Emine & Syed, Hammd Raza. (2010). Language Barrier and the Useof Interpreters in the Public Health Services. A questionnaire-Based Survey. Journal of Patient Education and Counseling, 81. 187-191
Kaygusuz, Canani. (2012). Psychological Counseling within the Context of Globalization and Multiculturalism. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 47. 895-902
Matsumoto, David., & Jaung, Linda. (2013). Culture and Psychology (5th edition). Belmonth,CA: Wadsworth Cengange Learning.

PENGALAMAN SHOCK CULTURE


PENGALAMAN SHOCK CULTURE
Oleh    : Ajeng Intan Nur R

       Tanpa kita sadari kita semua pernah mengalami pengalaman yang berkaitan dengan budaya, apalagi yang menyangkut gegar budaya (shock culture), termasuk saya. Sebelum saya menceritakan pengelaman saya mengenai shock culture, saya akan memperkenalkan siapa saya terlebih dahulu. Saya anak pertama dari tiga bersaudara dan menjadi panutan adik-adik saya, InsyaAllah. Saya berasal dari kota kecil biasanya disebut kota santri. Ya, kota Jombang namanya. Namun Tuhan menggariskan hidup saya lain karena ketika lulus SMA saya diboyong orang tua saya ke Surabaya. Saya ingat betapa masa kecil saya ketika mendengar kata Surabaya, maka angan-angan saya menggambarkan kota yang sangat besar, mewah dan modern, berbeda dengan Jombang. Namun, ketika saya sudah mulai menginjakkan kaki dan menetap di Surabaya sekitar tahun 2012, saya merasakan ada yang berbeda. Jelasnya, perihal cuaca yang panas, hiruk pikuk yang selalu standby 24 jam dan pola komunikasi penduduknya.
     Berhubung tempat tinggal saya di daerah yang padat penduduknya, daerah pusat kota, maka keramaian tidak dapat dielakkan. Saya masih ingat ketika itu saya tidak dapat memejamkan mata dikarenakan warung dekat rumah saya terus memutar music 24 non-stop. Parahnya, tidak hanya saya bahkan bapak, ibu dan adik-adik saya pun mengalami hal yang sama. Inilah mungkin yang dinamakan shock culture terkait dengan lingkungan yang berbeda.
      Waktu terus berjalan dan saya pun lebih bisa beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Ada beberapa pengalaman terkait culture-bound values selama saya hidup hingga sekarang. Pertama mengenai kata-kata cok, bagi saya yang berasal dari desa kota Jombang menganggap hal itu merupakan dosa besar dan hanya diucapkan oleh orang-orang yang urakan. Namun, yang saya temui di kota ini berbeda, hampir di setiap tempat, sekolah, warung, jalan mendengar kata tersebut. Pada saat itu saya masih memandang negatif perihal kata cok sehingga ketika ada perkuliahan mengenai konseling lintas budaya dan mengulas budaya Surabaya, saya mengerti bahwa itu termasuk aksen bahasa budaya Surabaya. Sehingga saat ini saya terbiasa dan saya telah melakukan enkulturasi budaya.
      Pengalaman kedua adalah mengenai pola pergaulan. Menurut saya, seorang perempuan yang pulang melebihi jam 9, dengan tanpa orang tua maka itu menyalahi norma. Namun di Surabaya tidak, banyak muda-mudi yang keluar di atas jam 9 dan bahkan hingga dini hari. Dengan kondisi kota yang demikian, keluarga terutama bapak sangat mewanti-wanti untuk tidak mengikuti budaya yang demikian, karena menurutnya hal itu tidak baik.
        Masih dalam konteks lingkungan yang smaa, yakni Surabaya. Tidak dapat dipungkiri bahwa kota Surabaya sebagain besar penduduknya dikuasai oleh orang Madura, dan mau tidak mau saya juga banyak berinteraksi dengan mereka. Pernah suatu ketika saya menghadapi seorang pembeli yang berasal dari Madura, karena kebetulan orang tua saya membuka bisnis bakery. Beliau menggunakan bahasa Madura dalam berkomunikasi sehingga saya mengalami kebingungan ketika melayani, hingga datanglah si anaknya yang membantu mengkomunikasikan kepada saya. Inilah hambatan ketika seseorang tidak paham dengan bahasa budaya lain, menjadi terhambat dalam interaksi di lingkup sosial.
       Pengalaman selanjutnya adalah mengenai weton. Berhubung bapak saya adalah orang jawa yang njawani (patuh dengan budaya orang Jawa), maka seringkali dalam melakukan sesuatu selalu dihubungkan dengan weton dan dino apik (hari baik). Saya yang telah tergerus dengan globalisasi dan ilmu pendidikan lebih rasional dalam berfikir, sedangkan bapak saya masih menggunakan pandangan orang Jawa. Pernah suatu ketika saya gagal berhubungan dengan seseorang hingga ke jenjang yang lebih serius lantaran masalah weton. Lucu memang, namun nyatanya masih ada.
     Pengalaman-pengalaman saya di atas membuktikan bahwa culture-bound values masih lekat dalam kehidupan sehari-hari. Keterikatan budaya ini menjadi suatu kepercayaan individu dalam menjalani kehidupannya sehingga terkadang memunculkan bias-bias atau prasangka yang tidak jelas terkait dengan budaya daerah lain.
      Seperti contoh di desa saya dulu, di Jombang semua penduduknya tidak ada yang berasal dari Madura. Hingga suatu ketika ada pengemis yang berasal dari Madura dan modelnya memaksa, tetangga saya memunculkan kata-kata yang masih jelas saya ingat “dasar wong meduro, pengaweane ya mung ngunu kuwi” (dasar orang Madura, kerjaannya ya cuma seperti itu). Sangat jelas sekali bahwa disana ada nilai-nilai budaya yang mendasari seseorang itu langsung memberikan prasangka terhadap orang Madura, baik dibentuk oleh pengalaman pribadi atau hanya sekedar mendengar perkataan orang lain sehingga menggeneralisasikannya.
    Tidak sampai disitu, ketika waktu telah beranjak menuntun langkah kaki hingga menuju kota Lumpia, yakni Kota Semarang, di sini saya juga sempat mengalami shock culture. Sebenarnya secara budaya dan letak geografis tidaklah jauh berbeda dengan keadaan di Jawa Timur, hanya saja di Semarang kontur wilayahnya adalah pegunungan dan menurut saya kota Semarang adalah kota yang suram, entah itu pencahayaannya atau memang perasaan saya. Bisa jadi saya mengatakan demikian karena masih membandingkan dan membaya suasana Surabaya ke Semarang. Percaya atau tidak, sejak awal saya berada di Semarang, selama dua minggu itu pula saya baru bisa memejamkan mata ketika waktu subuh atau sekitar jam 04.00 WIB tiba. Entah mengapa, mungkin saya butuh beradaptasi dengan kesunyian kota Semarang ini sehingga memunculkan bias-bias ketakutan tersendiri.
      Memasuki masa perkuliahan, saya berada di kelas yang ragam budaya. Teman saya berasal dari berbagai macam suku dan daerah, sehingga masa-masa semester satu dipenuhi dengan prasangka-prasangka budaya dan pengadaptasian. Dinamika kelas makin terasa sangat dinamis karena hampir semua dari kita masih belum bisa terlepas dari keterikatan budaya masing-masing daerah, sehingga memunculkan kasak-kusuk. Namun seiring berjalannya waktu bias tersebut semakin memudar dan masing-masing dari kita memahami bduaya teman yang lain. Demikian pengalaman pribadi saya terkait dengan culture-bound values. Semoga pengalaman saya menjadi bagian yang dapat diambil hikmahnya sehingga kesadaran akan budaya lebih dapat terinternalisasi dalam kepribadian kita.

BIMBINGAN DAN KONSELING PERKEMBANGAN



BIMBINGAN DAN KONSELING PERKEMBANGAN

1.      Analisis bagaimanakan cara membentuk anak yang hebat?

Jawaban  :
Sejak lahir anak-anak telah dibekali dengan potensi dari Tuhan YME. Mester (2014) menyebutkan bahwa anak lahir bagai kertas putih sesuai dengan teori John Locke, sehingga anak berpotensi untuk diwarnai dengan berbagai macam sumber pembelajaran, baik akademik maupun non akademik. Mengoptimalkan potensi anak adalah tanggung jawab semua kalangan, baik orang tua, lingkungan, tenaga pendidik, sekolah, bahkan pemerintah. Oleh karena itu butuh sistem yang terintegrasi untuk menumbuh kembangkan anak menjadi sosok yang hebat.
Anak yang hebat adalah anak yang mampu mensinergikan pikiran, hati dan perilaku menjadi hal yang konstruktif. Mengptimalkan ketiganya tidaklah mudah, sehingga anak perlu mendapatkan pembiasan-pembiasaan tertentu. Di dalam proses tumbuh kembang anak. Ibu adalah “sekolah” pertama dan utama bagi anak-anaknya. Oleh karena itu, akhlak dan kecerdasan sang ibu menjadi faktor utama dalam mennetukan sukses anak di kemudian hari. Adapun nasihat Utsman bin Affan mengatakan,”Wahai anak-anakku, sesungguhnya orang yang ehndak menikah itu ibarat orang yang akan menyemai benih.  Maka, hendaklah dia memperlihatkan di mana dia akan menyemainya. Dan ingatlah, bahwa (wanita yang berasal dari) keturunan buruk jarang sekali melahirkan keturunan yang baik. Jadi, pilih-pilihlah terlebih dahulu meskipun sejenak”
Apa yang disampaikan oleh Utsman bin Affan memang benar. Sebab, proses pendidikan memang sudah harus dimulai sejak anak dalam buaian. Dengan demikian salah satu komponen dalam membentuk anak hebat adalah bagaiana ibunya menjadi madrasah pertama bagi anaknya dan ini berkaitan dengan memilih calon istri ataupun suami yang baik. (Deary, dkk, 2006; Plomin & Deary, 2015)
Berkaitan dnegan hal itu, Islam memiliki metode mendidik dan membina anak. Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin berkata,” Yang menntukan (eberhasilan) pembinaan anak, susah atau mudahnya, adalah kemuahan (taufik) dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan jika seorang hamba bertakwa kepada Allah serta (berusaha) menempuh metode (pembinaan) yang sesuai dengan syariat Islam, maka Allah akan memudahkan urusannya (dalam mendidik anak). Berikut cara menajdikan anak yang hebat sperti Hafiz Al-Qur’an cilik.
ü  Pembinaan Rohani dan Jasmani
Cinta sejati kepada anak tidaklah diwujudkan dengan mencukupi kebutuhan duniawi dan fasilitas hidup mereka. Akan tetapi yang lebih penting dari semua itu adalah pemenuhan kebutuhan rohani mereka terhadap pengajaran dan bimbingan agama yang bersumber dari petunjuk al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
ü  Menggemburkan Hati
Konteks disini adalah bahwasannya pendidikan otak juga harus diimbangi dengan pendidikan hati agar menjadiinsan paripurna. (Goleman, 2015; Hetzel & Stranske 2007)
ü  Mempelajari Wawasan Umum
Anak-anak diajak untuk dapat melihat dunia luar dengan mempelajari wawasan umum sehingga mereka tidak jenuh dan paham bahwa mereka memiliki dunia seluas samudra.
ü  Memakan makanan yang bergizi
Proses tumbuh kembang dan aktivitas dalam mengoptimalkan kemampuan/potensi (seperti hafiz cilik) sangat membutuhkan asupan gizi yang optimal sehingga otak dapat bekerja secara optimal pula (Rampersaud, 2008; Adolpus, et al, 2013).
ü  Olahraga dan Refreshing
Selain memeprhatikan asupan gizi, anak-anak juga diajarkan bagaimana berolahraga untuk menajga stamina fisik.
ü  Tadabur Alam
Tadabur alam ini bertujuan untuk mengungkap rasa syukur atas kebesaran Allah selain untuk refreshing.


2.      Mengapa bisa anak tersebut memiliki kemampuan menghafal seperti itu?
Jawaban  :
Terdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi kemampuan anak dalam mengafal al-Qur’an seperti dua Hafiz cilik.
a)      Ikhlas sebagai kunci ilmu dan pemahaman
Niat ikhlas karena Allah SWT semata. Jangan sampai ada niat mendapat berbagai kenikmatan dunia yang barang tentu sangat tidak sebanding dengan kenikmatan di akhirat kelakMenjauhi kemaksiatan dan perbuatan dosa
b)      Rela dan ikhlas memanfaatkan masa kanak-kanan dan masa muda
Anak-anak masih fresh dalam mendapatkan ilmu sehingga mudah menyerap apa yang diajarkan dan dihafalkan. Oleh akrena itu mudah bagi mereka menhafalal-Qur’an
c)      Memanfaatkan waktu giat dan senggang
Manghafal dilakukan setelah shalat fajar karena leih banyak manfaatnya, terlebih bagi orang yang tidur malam lebih awal
d)     Memilih tempat yang tepat
Menjauhi tempat yang ramai dan yang menyebabkan konsentrasi menurun.
e)      Memotivasi diri dan tekad yang benar (memberikan reward)
Jangan lupa, biasanya anak-anak itu menyukai hadiah. Sekecil apa pun hadiah yang kita berikan akan sangat berkesan sekali di hati mereka. Jadi, kita bisa mulai mengadakan pendekatan dengan menjajikan hadiah bila ia mau belajar kepada kita, terutama sekali jika anak kita mencapai target yang sudah disepakati bersama. Selain itu, berikan sanjungan dan pujian bila anak kita dapat menyelesaikan hafalan tertentu.
f)       Memfungsikan semua indra
Dalam proses menghafal Al-Quran ini, hendaknya kita dapat menfungsikan indera penglihatan, pendengaran, dan ucapan. Setiap indera kita memiliki jalan yang akan menyampaikannya kepada otak. Apabila cara yang dilakukan beraneka ragam, maka akan menghasilkan hafalan yang kuat dan mantap (Effendi, 2009)

3.      Hambatan apa saja yang dihadapi anak & pembimbing selama proses?
Menuju sukses tentu diiringi dengan bebagai hambatan, salah satu hambatan adalah regulasi diri dan kesadaran diri. rendahnya kesadaran diri untuk mengulang hafalan dan menyetorkan kepada guru serta kondisi fisik atau kesehatan yang terganggu seringkali menjadi hambatan dalam proses hafalan. Dalam proses menghafal Al-Quran ini, hendaknya kita dapat menfungsikan indera penglihatan, pendengaran, dan ucapan. Setiap indera kita memiliki jalan yang akan menyampaikannya kepada otak. Apabila cara yang dilakukan beraneka ragam, maka akan menghasilkan hafalan yang kuat dan mantap. Dalam proses menghafal Al-Quran ini, hendaknya kita dapat menfungsikan indera penglihatan, pendengaran, dan ucapan. Setiap indera kita memiliki jalan yang akan menyampaikannya kepada otak. Apabila cara yang dilakukan beraneka ragam, maka akan menghasilkan hafalan yang kuat dan mantap

4.      Mengapa sarat pertama belajar harus membuang jauh musuh yang paling dicintai?
Jawaban  :
Fitrahnya, manusia diciptakan memiliki rasa cinta. Rasa ini lumrah dan bermakna indah. Namun keindahan dalam cinta dapat menjaid boomerang bagi individu. Seperti contoh Kehadiran sang buah hati dalam sebuah rumah tangga bisa diibaratkan seperti keberadaan bintang di malam hari, yang merupakan hiasan bagi langit. Demikian pula arti keberadaan seorang anak bagi pasutri, sebagai perhiasan dalam kehidupan dunia. Ini berarti, kehidupan rumah tangga tanpa anak, akan terasa hampa dan suram.
Allah Subhanahuwa Ta’ala berfirman,

الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَاباً وَخَيْرٌ أَمَلاً

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal dan shaleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Qs.al-Kahfi: 46)

Bersamaan dengan itu, nikmat keberadaan orang yang dicintai dapat menjadi musuh terbesar dan ujian yang bisa menjerumuskan seorang hamba dalam kebinasaan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan hal ini dalam firman-Nya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوّاً لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka…” (Qs. At-Taghaabun:14)

Makna menjadi musuh besar bagimu adalah melalikan kamu dari melakukan amal sholeh dan bisa menjerumuskan kita ke dalam perbuatan maksiat kepada Allah SWT. Ketika menafsirkan ayat di atas, syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “…Karena jiwa manusia memiliki fitrah untuk cinta kepada istri dan anak-anak, maka (dalam ayat ini) Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan hamba-hamba-Nya agar (jangan sampai) kecintaan ini menjadikan mereka menuruti semua keinginan istri dan anak-anak mereka dalam hal-hal yang dilarang dalam syariat. Dan Dia memotivasi hamba-hamba-Nya untuk (selalu) melaksanakan perintah-perintah-Nya dan mendahulukan keridhaan-Nya…”
Dengan demikian, bagi hafiz Al-Quran, mereka tidak dipertemukan oleh ibunya dan keluarganya dalam jangka waktu yang lama untuk menghindari hal-hal yang dapat membuat anak lali dengan kewajibannya sehingga mereka tidak berhasil dalam menuju tujuannya sebagai hafiz Al-Quran sebagai jalan jihad kepada Allah SWT. Oleh karena itu, langkah belajar pertama kali adalah menjauhkan musuh yang paling dicintai.


DAFTAR REFERENSI

Mester, B. (2014). Locke’s Theory of Education as a Philosophical Anthropology. Hungarian Academy of Sciences, UDC 130.11:37.011
Goleman,Daniel. (2015). Emotionally Intelligence. Gramedia: Jakarta

Plomin, R & Deary, I J. 2015. Genetics and intelligence differences: five special findings. Mol Psychiatry. 20(1): 98–108.

Deary, Ian J; Spinath, Frank M; & Bates, Timothy C. 2006. Genetics of intelligence. European Journal of Human Genetics. 14: 690–700

Effendi, Taufik Hamim. (2009). Jurus Jitu Mrnghafal Al-Qur’an. Muntada Ahlil Qur’an: Bekasi

Hetzel, June & Stranske, Tim. 2006. The IQ, EQ And SQ Elements of Effective Pedagogy. CSE, 10 (3):6-9

Adolphus, Katie; Lawton, Clare L., & Dye, Louise. 2013. The effects of breakfast on behavior and academic performance in children and adolescents. Front Hum Neurosci. 7: 425.

Rampersaud, Gail C. 2008. Benefits of Breakfast for Children and Adolescents: Update and Recommendations for Practitioners. American Journal of Lifestyle Medicine Vol 3, Issue 2, 2009



Budaya dan Atrubusi

BUDAYA dan ATRIBUSI A.     Definisi Atribusi Mendengar kata atribusi tentunya tidak asing dalam keseharian, namun apakah sebenarnya a...