ANALISIS KRITIS ANTAR MODEL INTERVENSI KRISIS
Oleh : Ajeng Intan Nur Rahmawati
1. Model Equilibrium
Kata equilibrium mengindikasikan pada unsur keseimbangan, lantas apa yang diseimbangkan pada model intervensi krisis ini? James (2008) mengatakan bahwa keseimbangan di sini adalah menyeimbangkan aspek psikis ataupun aspek emosional. Caplan (James, 2008) pun menunjukkan bahwa tujuan operasional dari model ini adalah menggiring individu yang mengalami krisis menuju keseimbangan secara psikis yang berimbas pada fisik. Titik keseimbangan tercapai manakala individu memiliki kemampuan coping stress dan tingkat resistensi yang tinggi. Lalu bagaimana jika terdapat individu-individu yang tidak memilki kemampuan coping yang baik dan rendahnya resistensi dirinya?
Secara konseptual, model ini mengedepankan keseimbangan ketiga aspek (kognisi, afeksi dan psikomotorik). Individu yang mengalami kondisi krisis akan diarahkan untuk menyeimbangkan ketiga aspek tersebut. Namun, akankah tingkat equilibrium antar individu sama? Dan apa yang menjadi patokan bagi konselor krisis untuk mengetahui bahwa individu tersebut mengalami equilibrium?
Hal-hal yang demikianlah yang menjadi kontradiksi, bukankan sebuah model tentu akan memberikan gambaran konseptual tentang rancangan model yang akan diterapkan di lapangan? Model equilibrium ini hanyalah menekankan bahwa kondisi krisis seseorang terjadi akibat adanya ketidakseimbangan antara ketiga aspek (kognitif, afektif, dan psikomotorik), dan tentunya penggunaan model ini tidaklah diiringi dengan teknik-teknik apa yang sesuai untuk menyeimbangkan ketiga hal tersebut.
2. Model Kognitif
Model ini memandang pemicu keadaan krisis seseorang adalah cara berfikir yang irasional. Ellis (Cappuzi, 2016) mengatakan bahwa bukan bentuk permasalahannya yang menjadi masalah, melainkan bagaimana cara pandang seseorang tersebut sehingga menjadikannya bermasalah. Sama halnya dengan model ini yang berfokus pada pandangan individu atas situasi atau peristiwa yang dialami sehingga berujung pada kondisi krisis.
Kondisi krisis terjadi ketika seseorang mempersepsikan situasi atau peristiwa tersebut sebagai hal yang menghancurkan dirinya. Individu yang mengalami krisis selalu berpeluang besar untuk merecall kembali kejadian traumatis sehingga pikiran irasional semakin bersarang di dalam dirinya.
Model intervensi krisis ini bertujuan untuk membentuk kesiapan individu dalam mengadapi realita dan berfikir konstruktif atas apa yang dialaminya. Namun, pada kenyataannya pendobrakan akan keyakinan irasional tidaklah mudah, perlu adanya pengintegrasian segi afeksi, kognisi dan psikomotorik.
Waktu yang lama dengan dampak krisis yang begitu cepat akan menimbulkan ambivalensi, apakah model ini efektif digunakan untuk konseling krisis yang penanganannya membutuhkan penganan segera?
Hal inilah yang perlu diketahui sebelum memberikan intervensi. Konselor krisis haruslah mampu membuat rancangan assesmen sekomprehensive mungkin, agar konselor dapat memanajemen waktu dan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi.
Selain dari kematangan rancangan assessment, konselor pun juga mengukur tingkat resistensi yang tentunya berhubungan langsung dengan aspek kognitif, sehingag konselor dapat mengetahui sejauh mana dampak keyakinan irasional si penderita.
3. Model Psychososial Transtition
Model intervensi krisis ini berhubungan dengan aspek sosial yang dapat mempengaruhi perilaku dan kepribadian individu. Tujuan dari model ini adalah mengakses kesulitan yang bersifat internal dan eksternal agar dikembangkan bantuan yang berkaca pada aspek psikis dan sosial.
Pengaplikasian model ini mengutamakan dukungan seccara sosial dalam penyembuhan kondisi krisis, namun apakah mudah untuk mengkondisikan keadaan sosial? dan apakah keadaan sosial mutlak memberikan unsur terapeutik konseli?
Hal inilah yang terkadang menjadi kendala bagi konselor untuk mengkondisikan keadaan sosial individu. Oleh karena itu konselor perlu mendapatkan lebih detail dukungan sosial yang seprti apa yang dibutuhkan konseli untuk meredakan krisisnya.
4. Model Perkembangan dan Kontekstual Ekologi
Pemberian intervensi menggunakan model ini adalah mengintegrasikan tahap-tahap perkembangan dan masalah-masalah yang melingkupinya dalam melakukan tugas perkembangan. Fokus utama dalam model ini adalah mengkorelasikan antara tugas perkembangan dengan problemnya. secara tegas Ericson (Feist, 2017) menyatakan bahwa individu tidak dapat dilepaskan dari struktur sosial dan lingkungan yang melekat pada kehidupan sehari-hari. Secara sistematis, maka dapat digambarkan bahwa perilaku merupakan perpaduan dua fungsi utama, yaitu organisme dan lingkungan.
Lewis (Fathur Rahman, 2006) mengatakan bahwa lingkungan perkembangan manusia terdiri dari empat lapis perkembangan, yakni sebagai berikut:
1) Pertama, lapisan mikro yakni hubungan atau pengalaman lansung individu dengan unit terkecil dalam masyarakat; bisa keluarga, sekolah dan kelompok sebaya
2) Kedua, lapisan meso yaitu keterikatan dan hubungan langsung antara unit-unit mikro, relasi keluarga dan sekolah, relasi sekolah dan teman sebaya
3) Ketiga, lapisan ekso yakni lingkungan di luar diri individu yang memiliki hubungan tidak langsung
4) Keempat, adalah level makro yang merupakan lapisan paling luar dari diri individu.
Penerapan model ini digunakan pada konteks konseling krisis bertujuan untuk membantu individu agar mampu menghadapi peristiwa yang menyebabkan krisis (berkenaan dengan keempat lingkungan perkembangan yang dikemukakan Lewis)
DAFTAR PUSTAKA
James, Richard. K. 2008. Crisis Intervention Strategies (6 thedition). California: Brooks/Cole
Feist, Feist dan Robert. (2017). Teori Kepribadian 8th. Jakarta: Salemba Humanika
Rahman, Fathur. 2006. Konseling Tiga Dimensi: Ide dan Praktik Ekologi Perkembangan dalam Memahami Problem Klien dan Komunitas. Universitas Negeri Yogyakarya. September 2006